enjoy reek yaaaa....

Sabtu, 31 Desember 2016

Sutrisno. Pengatur Lalu Lintas, Berkreasi dan Mengabdi Tanpa Batas

Surabaya merupakan kota dengan mobilitas transpotrasi darat yang cukup padat, bahkan ruas-ruas kota tersebut ramai oleh para pengendara baik roda dua maupun roda empat. Maka tidak dipungkiri lagi kemacetan juga bisa terjadi di ruas-ruas kota besar, seperti di Surabaya. Keberadaan sukarelawan pengatur lalu lintas (polisi cepek) cukup membantu bagi sebagian pengguna jalan, namun di sisi lain juga terkadang meresahkan bagi sebagian pengguna jalan yang lain. Itulah sedikit gambaran bagaimana polemik lalu lintas yang sering kita hadapi di masa kini.
Di pertigaan jalan Kutisari Selatan kota Surabaya ada pemadangan unik dan terkesan nyeleneh, pasalnya di daerah tersebut terdapat sukarelawan pengatur lalu lintas (polisi cepek) dengan mengenakan kostum aneh. Sutrisno namanya, menjadi sukarelawan pengatur lalu lintas sudah dilakoninya sejak zaman orde baru, tepatnya tahun 1998. Penampilannya yang identik nyentrik tapi memiliki nilai seni yang cukup bagus ini membuat penulis penasaran. Apa sebenarnya  alasan beliau mengenakan kostum-kostum unik. Pak tris begitulah warga sekitar biasa memanggilnya mengaku bahwa telah membuat 3000 kostum lebih sejak dia mengatur lalu lintas di jalan Kutisari Selatan, kostum yang pak tris buat merupakan hasil dari barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai dan membeli barang-barang murahan yang sekiranya diperlukan dalam pembuatan kostum. Pria kelahiran 9 November 1958 ini mengenakan kostumnya sesuai dengan peristiwa yang saat tu terjadi. Seperti ketika menjelang hari pahlawan, beliau akan membuat kostum seperti bung karno, atau penjajah. Kostum yang pernah dipakai mulai dari berbagai macam profesi pekerjaan (guru, polisi, pegawai sipil), tentara Romawi, orang-orang kepercayaan raja kuno pada masanya, malaikat pencabut nyawa, tokoh  berbagai agama,  jenis hantu, atlet olahraga, dan lain sebagainya. Ketika ditanya kenapa pak Tris membuat macam-macam kostum unik, “yaa buat menghibur saja mbak, kan banyak yang jenuh kalau sepulang kerja, kalau memang ada yang takut itu ya terserah yang melihat. Yang penting niat saya menghibur”. Begitu jawabnya sambil sesekali menghisap rokok yang sedari tadi di bawanya.
Butuh waktu beberapa jam untuk persiapan beliau sebelum beraksi ke jalanan. ”Dari jam 3 sore sampai kira-kira 8 malam mbak”  kata Pak Tris kala itu ketika ditanya mulai jam berapa biasa mangkal sebagai supeltas (sukarelawan pengatur lalu lintas).  Ketika penulis datangi, beliau sedang memoles wajahnya dengan cat sehingga wajahnya benar-benar penuh warna cat dan sulit mengenali keorisinalitas wajahnya. Setelah rampung memoles, pak tris mulai mengayuh sepeda buntut yang dibelinya dipengepul barang bekas beberapa tahun lalu. Sambil mengibarkan bendera merah yang menjulang cukup tinggi, pak tris mulai beraksi mengatur lalu lintas di jalan Kutisari Selatan. Mungkin tidak sekadar memudahkan pengguna jalan berseliweran di pertigaan itu. Keberadaan pak Tris cukup menghibur para pengguna jalan. Sehingga banyak yang rela merogoh koceknya karena merasa terhibur dibanding merasa terbantu oleh beliau. Dari kebaikan pengguna jalan itu, jika dirata-rata, pak Tris mengaku bisa mengantongi Rp100 ribu per hari. Seorang pengendara mobil katanya bahkan pernah memberinya Rp100 ribu. Beliau mengaku telah diliput berbagai macam media massa (majalah, koran, radio, televisi) mulai tingkat lokal sampai nasional.
Pria asal Banyuwangi ini mengontrak sebidang kamar di daerah Kutisari. Beliau mengaku bahwa beliau telah dipercaya oleh pemilik kontrakan tersebut, untuk mengurus salah satu orangtua pemilik kontrakan yang sudah tua renta dan sakit-sakitan. Dengan demikian beliau tidak harus membayar biaya kontrak kamarnya karena telah bersedia mengurus salah satu orangtua pemilik kontrakan. Ketika wawancara hari pertama, tepatnya tanggal 7 Desember 2016, pak Tris masih bercerita tentang salah satu orangtua pemilik kontrakan yang masih sakit, namun di hari lain selang dua minggu kemudian, di hari lain ketika penulis wawancara kembali, pak Tris memberi tau bahwa dia sangat sedih karena salah satu orangtua pemilik kontrakan yang sakit-sakitan tersebut telah meninggal beberapa hari yang lalu. Demikianlah sedikit cerita pengabdian seorang Sutrisno terhadap orang sekitar. 
Salah satu warga Kutisari mengaku bahwa adanya pak Tris merupakan hiburan tersendiri. “menghibur pak Tris itu, dan orangnya baik” kata Deni salah satu warga asli Kutisari yang sering melewati pertigaan Kutisari. Ada pula pendapat pengguna jalan lain yang biasanya juga lewat pertigaan tersebut. Fitri, mahasiswa semester tua di salah satu Universitas Negri Surabaya mengaku bahwa dia dulu takut dan tidak berani melewati jalan pertigaan tersebut. “saya awalnya takut mbak lewat sini, kalau pak Tris jadi pocong, gendruwo, kadang gak berani lewat. Tapi lama-lama akhirnya berani juga, soalnya harus lewat situ.” Katanya sambil sedikit terkekeh. Begitulah sedikit gambaran tentang pak Sutrisno, pengatur lalu lintas yang kreatif dan mengabdi tanpa batas.


Penulis (berkrudung biru) bersama dila dan nania mengabadikan moment dengan pak Sutrisno di sela beliau mangkal mengatur lalu lintas.




Penulis merupakan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam semster 5 Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSA Surabaya. 

1 komentar: