Surabaya merupakan kota dengan mobilitas transpotrasi darat yang
cukup padat, bahkan ruas-ruas kota tersebut ramai oleh para pengendara baik
roda dua maupun roda empat. Maka tidak dipungkiri lagi kemacetan juga bisa
terjadi di ruas-ruas kota besar, seperti di Surabaya. Keberadaan sukarelawan pengatur
lalu lintas (polisi cepek) cukup membantu bagi sebagian pengguna jalan,
namun di sisi lain juga terkadang meresahkan bagi sebagian pengguna jalan yang
lain. Itulah sedikit gambaran bagaimana polemik lalu lintas yang sering kita
hadapi di masa kini.
Di pertigaan
jalan Kutisari Selatan kota Surabaya ada pemadangan unik dan terkesan nyeleneh,
pasalnya di daerah tersebut terdapat sukarelawan pengatur lalu lintas (polisi cepek)
dengan mengenakan kostum aneh. Sutrisno namanya, menjadi sukarelawan pengatur
lalu lintas sudah dilakoninya sejak zaman orde baru, tepatnya tahun 1998. Penampilannya
yang identik nyentrik tapi memiliki nilai seni yang cukup bagus ini membuat
penulis penasaran. Apa sebenarnya alasan
beliau mengenakan kostum-kostum unik. Pak tris begitulah warga sekitar biasa
memanggilnya mengaku bahwa telah membuat 3000 kostum lebih sejak dia mengatur
lalu lintas di jalan Kutisari Selatan, kostum yang pak tris buat merupakan
hasil dari barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai dan membeli barang-barang
murahan yang sekiranya diperlukan dalam pembuatan kostum. Pria kelahiran 9
November 1958 ini mengenakan kostumnya sesuai dengan peristiwa yang saat tu
terjadi. Seperti ketika menjelang hari pahlawan, beliau akan membuat kostum
seperti bung karno, atau penjajah. Kostum yang pernah dipakai mulai dari berbagai macam
profesi pekerjaan (guru, polisi, pegawai sipil), tentara Romawi, orang-orang
kepercayaan raja kuno pada masanya, malaikat pencabut nyawa, tokoh berbagai agama, jenis hantu, atlet olahraga, dan lain sebagainya.
Ketika ditanya kenapa pak Tris membuat macam-macam kostum unik, “yaa buat menghibur saja mbak, kan banyak yang jenuh kalau sepulang
kerja, kalau memang ada yang takut itu ya terserah yang melihat. Yang penting
niat saya menghibur”. Begitu jawabnya sambil sesekali menghisap rokok yang
sedari tadi di bawanya.
Butuh
waktu beberapa jam untuk persiapan beliau sebelum beraksi ke jalanan. ”Dari jam
3 sore sampai kira-kira 8 malam mbak”
kata Pak Tris kala itu ketika ditanya mulai jam berapa biasa mangkal
sebagai supeltas (sukarelawan pengatur lalu lintas). Ketika penulis datangi, beliau sedang memoles
wajahnya dengan cat sehingga wajahnya benar-benar penuh warna cat dan sulit
mengenali keorisinalitas wajahnya. Setelah rampung memoles, pak tris mulai
mengayuh sepeda buntut yang dibelinya dipengepul barang bekas beberapa tahun
lalu. Sambil mengibarkan bendera merah yang menjulang cukup tinggi, pak tris
mulai beraksi mengatur lalu lintas di jalan Kutisari Selatan. Mungkin tidak sekadar memudahkan
pengguna jalan berseliweran di pertigaan itu. Keberadaan pak Tris cukup
menghibur para pengguna jalan. Sehingga banyak yang rela merogoh koceknya
karena merasa terhibur dibanding merasa terbantu oleh beliau. Dari kebaikan
pengguna jalan itu, jika dirata-rata, pak Tris mengaku bisa mengantongi Rp100
ribu per hari. Seorang pengendara mobil katanya bahkan pernah memberinya Rp100
ribu. Beliau mengaku telah diliput berbagai macam media massa (majalah, koran,
radio, televisi) mulai tingkat lokal sampai nasional.
Pria
asal Banyuwangi ini mengontrak sebidang kamar di daerah Kutisari. Beliau mengaku
bahwa beliau telah dipercaya oleh pemilik kontrakan tersebut, untuk mengurus
salah satu orangtua pemilik kontrakan yang sudah tua renta dan sakit-sakitan.
Dengan demikian beliau tidak harus membayar biaya kontrak kamarnya karena telah
bersedia mengurus salah satu orangtua pemilik kontrakan. Ketika wawancara hari
pertama, tepatnya tanggal 7 Desember 2016, pak Tris masih bercerita tentang
salah satu orangtua pemilik kontrakan yang masih sakit, namun di hari lain
selang dua minggu kemudian, di hari lain ketika penulis wawancara kembali, pak Tris
memberi tau bahwa dia sangat sedih karena salah satu orangtua pemilik kontrakan
yang sakit-sakitan tersebut telah meninggal beberapa hari yang lalu.
Demikianlah sedikit cerita pengabdian seorang Sutrisno terhadap orang sekitar.
Salah satu
warga Kutisari mengaku bahwa adanya pak Tris merupakan hiburan tersendiri.
“menghibur pak Tris itu, dan orangnya baik” kata Deni salah satu warga asli
Kutisari yang sering melewati pertigaan Kutisari. Ada pula pendapat pengguna
jalan lain yang biasanya juga lewat pertigaan tersebut. Fitri, mahasiswa
semester tua di salah satu Universitas Negri Surabaya mengaku bahwa dia dulu
takut dan tidak berani melewati jalan pertigaan tersebut. “saya awalnya takut
mbak lewat sini, kalau pak Tris jadi pocong, gendruwo, kadang gak berani lewat.
Tapi lama-lama akhirnya berani juga, soalnya harus lewat situ.” Katanya sambil
sedikit terkekeh. Begitulah sedikit gambaran tentang pak Sutrisno, pengatur
lalu lintas yang kreatif dan mengabdi tanpa batas.
Penulis (berkrudung biru) bersama dila dan nania mengabadikan moment dengan
pak Sutrisno di sela beliau mangkal mengatur lalu lintas.
|
Penulis
merupakan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam semster 5 Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UINSA Surabaya.
Wkwkwkw keren kreatif
BalasHapus