enjoy reek yaaaa....

Sabtu, 31 Desember 2016

Sutrisno. Pengatur Lalu Lintas, Berkreasi dan Mengabdi Tanpa Batas

Surabaya merupakan kota dengan mobilitas transpotrasi darat yang cukup padat, bahkan ruas-ruas kota tersebut ramai oleh para pengendara baik roda dua maupun roda empat. Maka tidak dipungkiri lagi kemacetan juga bisa terjadi di ruas-ruas kota besar, seperti di Surabaya. Keberadaan sukarelawan pengatur lalu lintas (polisi cepek) cukup membantu bagi sebagian pengguna jalan, namun di sisi lain juga terkadang meresahkan bagi sebagian pengguna jalan yang lain. Itulah sedikit gambaran bagaimana polemik lalu lintas yang sering kita hadapi di masa kini.
Di pertigaan jalan Kutisari Selatan kota Surabaya ada pemadangan unik dan terkesan nyeleneh, pasalnya di daerah tersebut terdapat sukarelawan pengatur lalu lintas (polisi cepek) dengan mengenakan kostum aneh. Sutrisno namanya, menjadi sukarelawan pengatur lalu lintas sudah dilakoninya sejak zaman orde baru, tepatnya tahun 1998. Penampilannya yang identik nyentrik tapi memiliki nilai seni yang cukup bagus ini membuat penulis penasaran. Apa sebenarnya  alasan beliau mengenakan kostum-kostum unik. Pak tris begitulah warga sekitar biasa memanggilnya mengaku bahwa telah membuat 3000 kostum lebih sejak dia mengatur lalu lintas di jalan Kutisari Selatan, kostum yang pak tris buat merupakan hasil dari barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai dan membeli barang-barang murahan yang sekiranya diperlukan dalam pembuatan kostum. Pria kelahiran 9 November 1958 ini mengenakan kostumnya sesuai dengan peristiwa yang saat tu terjadi. Seperti ketika menjelang hari pahlawan, beliau akan membuat kostum seperti bung karno, atau penjajah. Kostum yang pernah dipakai mulai dari berbagai macam profesi pekerjaan (guru, polisi, pegawai sipil), tentara Romawi, orang-orang kepercayaan raja kuno pada masanya, malaikat pencabut nyawa, tokoh  berbagai agama,  jenis hantu, atlet olahraga, dan lain sebagainya. Ketika ditanya kenapa pak Tris membuat macam-macam kostum unik, “yaa buat menghibur saja mbak, kan banyak yang jenuh kalau sepulang kerja, kalau memang ada yang takut itu ya terserah yang melihat. Yang penting niat saya menghibur”. Begitu jawabnya sambil sesekali menghisap rokok yang sedari tadi di bawanya.
Butuh waktu beberapa jam untuk persiapan beliau sebelum beraksi ke jalanan. ”Dari jam 3 sore sampai kira-kira 8 malam mbak”  kata Pak Tris kala itu ketika ditanya mulai jam berapa biasa mangkal sebagai supeltas (sukarelawan pengatur lalu lintas).  Ketika penulis datangi, beliau sedang memoles wajahnya dengan cat sehingga wajahnya benar-benar penuh warna cat dan sulit mengenali keorisinalitas wajahnya. Setelah rampung memoles, pak tris mulai mengayuh sepeda buntut yang dibelinya dipengepul barang bekas beberapa tahun lalu. Sambil mengibarkan bendera merah yang menjulang cukup tinggi, pak tris mulai beraksi mengatur lalu lintas di jalan Kutisari Selatan. Mungkin tidak sekadar memudahkan pengguna jalan berseliweran di pertigaan itu. Keberadaan pak Tris cukup menghibur para pengguna jalan. Sehingga banyak yang rela merogoh koceknya karena merasa terhibur dibanding merasa terbantu oleh beliau. Dari kebaikan pengguna jalan itu, jika dirata-rata, pak Tris mengaku bisa mengantongi Rp100 ribu per hari. Seorang pengendara mobil katanya bahkan pernah memberinya Rp100 ribu. Beliau mengaku telah diliput berbagai macam media massa (majalah, koran, radio, televisi) mulai tingkat lokal sampai nasional.
Pria asal Banyuwangi ini mengontrak sebidang kamar di daerah Kutisari. Beliau mengaku bahwa beliau telah dipercaya oleh pemilik kontrakan tersebut, untuk mengurus salah satu orangtua pemilik kontrakan yang sudah tua renta dan sakit-sakitan. Dengan demikian beliau tidak harus membayar biaya kontrak kamarnya karena telah bersedia mengurus salah satu orangtua pemilik kontrakan. Ketika wawancara hari pertama, tepatnya tanggal 7 Desember 2016, pak Tris masih bercerita tentang salah satu orangtua pemilik kontrakan yang masih sakit, namun di hari lain selang dua minggu kemudian, di hari lain ketika penulis wawancara kembali, pak Tris memberi tau bahwa dia sangat sedih karena salah satu orangtua pemilik kontrakan yang sakit-sakitan tersebut telah meninggal beberapa hari yang lalu. Demikianlah sedikit cerita pengabdian seorang Sutrisno terhadap orang sekitar. 
Salah satu warga Kutisari mengaku bahwa adanya pak Tris merupakan hiburan tersendiri. “menghibur pak Tris itu, dan orangnya baik” kata Deni salah satu warga asli Kutisari yang sering melewati pertigaan Kutisari. Ada pula pendapat pengguna jalan lain yang biasanya juga lewat pertigaan tersebut. Fitri, mahasiswa semester tua di salah satu Universitas Negri Surabaya mengaku bahwa dia dulu takut dan tidak berani melewati jalan pertigaan tersebut. “saya awalnya takut mbak lewat sini, kalau pak Tris jadi pocong, gendruwo, kadang gak berani lewat. Tapi lama-lama akhirnya berani juga, soalnya harus lewat situ.” Katanya sambil sedikit terkekeh. Begitulah sedikit gambaran tentang pak Sutrisno, pengatur lalu lintas yang kreatif dan mengabdi tanpa batas.


Penulis (berkrudung biru) bersama dila dan nania mengabadikan moment dengan pak Sutrisno di sela beliau mangkal mengatur lalu lintas.




Penulis merupakan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam semster 5 Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSA Surabaya. 

Kamis, 23 Juni 2016

Sejarah Singkat PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang

PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, terletak di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, tepatnya ± 3 Km sebelah utara kota Jombang. PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, dengan sosio kultur religious agraris.
Sekitar tahun 1825 di sebuah Desa yang jauh dengan keramaian kota Jombang, tepatnya di sebelah utara kota Jombang, di Dusun Gedang kelurahan Tambakrejo, datanglah seorang yang ‘alim, pendekar ulama atau ulama pendekar, bernama ABDUS SALAM namun lebih dikenal dengan panggilan MBAH SHOICHAH (bentakan yang membuat orang gemetar) Kedatangannya di dusun ini membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya. Menurut silsilah beliau termasuk keturunan Raja Brawijaya (kerajaan Majapahit).
Abdus Salam putra Abdul Jabbar putra Abdul Halim (Pangeran Benowo) putra Adurrohman (Jaka Tingkir). Selengkapnya Baca Silsilah Kyai Abdussalam halaman 21.
Kedatangan Abdus Salam di Desa ini semula masih merupakan hutan belantara, kurang lebih 13 tahun dia bergelut dengan semak belukar dan kemudian dijadikan perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah ia membuat gubuk tempat ia berdakwah yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri dan tempat tinggal yang sederhana. Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pondok Selawe atau Telu, dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang dan jumlah bangunan yang hanya terdiri 3 lokalbeserta mushollanya. Hal ini terjadi pada tahun 1838 M, kondisi tersebut adalah cikal bakal PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM.
Sementara itu menurut versi yang lain istilah 3 (telu) adalah merupakan representasi dari Pondok Selawe atau Pondok Telu yang mengembangkan ilmu-ilmu Syari’atHakikat dan Kanuragan. Hal itu didasarkan pada manifestasi keilmuan Mbah Shoichah sendiri yang mencakup ketiganya.
Setelah Kyai Shoichah (Abdussalam) berusia lanjut (sepuh: bahasa jawa) tampuk pimpinan pondok Selawe atau pondok telu diserahkan kepada dua menantunya yang tidak lain adalah santrinya sendiri. Kedua menantunya tersebut adalah Kyai Ustman dan Kyai Sa’id. Dengan mendapat restu dari mertuanya Kyai Ustman dan Kyai Sa’id  menjadikan pondok menjadi dua cabang, hal ini dikarenakan jumlah santri yang semakin bertambah banyak. Kyai Ustman mengembangkan pondok di Dusun Gedang yang tidak jauh dari pesantren ayah mertuanya yaitu di sebelah timur sungai pondok pesantren, sedangkan Kyai Sa’id  mengembangkan pesantren di sebelah barat sungai.
Dalam penataan manajemen pendidikan pesantren yang diasuhnya, Kyai Ustman lebih berkonsentrasi mengajarkan ilmu-ilmu Thoriqot atau Tasawuf, sedangkan Kyai Sa’id mengajarkan ilmu-ilmu Syari’at.
Sumber:https://ppbu935.wordpress.com

BERJIWA MERDEKA DENGAN PUASA


Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Penulis Buku/Founder: “60 Menit Terapi Shalat Bahagia”(www.terapishalatbahagia.net)
Ceramah Shalat Taraweh di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya 14 Juli 2013
merpati1Tahukah Anda bahwa Ramadlan berati pembakaran? Bisa berarti membakar lemak, karena tetap bekerja dan berkeringat sekalipun sedang berlapar-lapar puasa, dan bisa juga membakar dosa yang menumpuk. Kita harapkan, puasa juga membakar semangat untuk manjadi manusia merdeka. Paling tidak merdeka dari mental mengeluh dan mental peminta.
Mungkin luput dari penghayatan Anda, bahwa setiap shalat taraweh dan witir, Anda diajak sang imam bersenandung doa, Asyh-hadu an la ilaha illallah, astaghfirullah. As-aluka ridlaka wal jannata wa-‘adzubika min sakhatika wannar“ (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Aku memohon ampunan kepada-Mu. Wahai Allah, aku benar-benar mengharap ridlo-Mu dan surga. Jauhkan aku dari murka-Mu dan neraka.”  Khusus permohonan “ridlo-Mu,” saya terjemahkan secara bebas, “Oh Allah, aku ingin Engkau senang melihat aku.”
Apalah artinya, jika Anda kaya raya, tapi Allah tidak menyukai Anda. Di mata mukmin sejati, lebih baik miskin dengan ridlo ilahi, daripada kaya tapi Allah murka. Untuk apa Anda sehat wal afiat, jika kesehatan itu tidak mendatangkan ridlo Allah. Bagi mukmin yang cerdas, lebih baik sakit tapi Allah senyum melihat dia, daripada sehat tapi menjadi sarana durhaka.  Semoga Anda tidak mengalami  pilihan kepepet itu. Anda pasti sama dengan saya dan semua mukmin: ingin sehat, kaya dan sukses sekaligus disenangi Allah.
Untuk mengupas soal ridlo Allah, saya kutipkan doa Nabi ketika mendapat lemparan batu dari penduduk Thaif, desa kecil sebelah utara Mekah, yang belum faham visi misi Nabi. Orang tidak lagi bisa mengenal wajah Nabi saat itu, karena lumuran darah yang menutupi wajahnya. Giginya pun patah. Inilah doanya,  Wahai Allah, kepada-Mu aku mengadukan kekuatanku yang lemah, ikhtiarku yang terbatas, dan diri yang hina di mata manusia. Engkau Tuhan PalingPengasih dari semua pengasih, Engkau pelindung orang-orang yang tertindas dan Engkaulah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau  menyerahkan diriku ini?. Kepada mereka yang tiada saya duga menyerangku (hari ini) atau kepada mereka yang bisa bertindak apa saja kepadaku?. Selama Engkau tidak murka kepadaku, semuanyatiada masalah bagiku. Sungguh, perlindungan-Mu tiada terbatas. Dengan cahaya-Mu yang mengusir kegelapan, dan memberi kebaikan permasalahan dunia dan akhirat, aku memohon agar Engkau tidak murka kepadaku. Demi Engkaulah aku rela dihinakan, asal Engkau ridla padaku. Tiada daya dan tiada kekuatan, kecuali dari-Mu. (lihat Buku Doa Al Mustahabbah p. 17-18)
Kata kunci pada doa di atas adalah “ridlo.” Gigi yang patah, muka yang bermake-up darah tidak menjadi masalah sama sekali bagi Nabi asal Allah tidak murka kepadanya. Perjalanan seterjal apapun, lembah securam apapun atau gelombang ombak berapapun tingginya,  akan dilalui oleh Nabi demi mengejar ridlo-Nya. Cercaan orang sepedas apapun akan diterima dengan ikhlas oleh Nabi asal bisa meraih ridlo Allah. Bahkan Nabi menjadi pohon mangga: dilempar dengan batu, tapi dibalas dengan kiriman buah masak nan segar.
Semua Anda akan kembali kepada Allah. Kembalilah kepadanya dengan senyum dan disambut dengan senyum-Nya. Anda pasti tersiksa, jika berkunjung ke rumah orang, lalu tuan rumah itu muak melihat Anda, malas berbicara, atau menutup telinga ketika Anda berbicara. Tanpa suguhan apapun, Anda pasti bahagia, jika tuan rumah tiada henti tersenyum dan bersemangat berbicara dengan Anda.
Bagaimana kita bisa meraih ridlo Allah itu? Aminilah doa sang imam berikutnya, “Allahummaj’alna bil imani kaamilin, watahta liwaai sayyidina Muhammadin yaumal qiyamati saa-irin, Wabil qadloi rodlin.” (Wahai Allah, jadikan kami hidup dengan iman yang sempurna, tempatkan kami pada barisan pemegang bendera Nabi Muhammad pada hari kiamat, dan jadikan kami ridlo terhadap semua takdir-Mu). Jangan hanya mengamini, tapi berupayalah menjalani hidup sesuai dengan ujung doa itu, “Jadikan kami ridlo dengan semua takdir-Mu.”  Jika Anda ridlo dengan apapun takdir Allah, tidak mengeluh sama sekali dengan takdir yang tidak Anda sukai itu,  Allah pasti ridlo dengan siapapun Anda. Jika Anda ridlo dengan rizki yang sedikit, Allah akan ridlo menerima kehadiran Anda dengan pahala yang sedikit. Senyum Anda ketika mendapat takdir cobaan hidup, adalah senyum Allah untuk Anda, sebagai simbol ridlo-Nya.
Terimalah dengan ikhlas dan ridlo penyakit yang Anda derita sekarang ini, jangan mengeluh. Terimalah dengan senang cobaan kebangkrutan ekonomi sekarang ini. Jangan sekali-kali mengeluh karenanya. Terimalah dengan kesabaran, takdir Allah berupa pasangan hidup yang amat menjengkelkan Anda saat ini. Terimalah dengan senang hati dan optimis. Anda mungkin juga sedang diberi cobaan berupa anak yang menyesakkan dada Anda. Jangan mengeluh. Semua itu takdir Allah untuk menguji mukmin macam apa Anda sebenarnya. Juga untuk mencerdaskan dan mematangkan mental Anda untuk menghadapi kesuksesan besar yang sudah dipersiapkan Allah untuk Anda di kemudian hari. Percayalah. (baca Buku 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, hal. 173-177)
Jika Anda mengeluh, Anda merasakan empat melapetaka: jiwa yang menderita, fisik yang rapuh bahkan bertambah sakit, doa yang tidak terkabul, dan kematian yang mengerikan.  Saya katakan kematian yang mengerikan, sebab  Allah tidak suka bertemu dan berbicara kepada orang mati dengan membawa keluhan atau kejengkelan terhadap takdir-Nya. Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi, “Barangsiapa tidak senang dengan keputusan dan takdir-Ku, maka hendaknya ia segera mencari Tuhan selain Aku”(HQR. Al Baihaqi dari Anas r.a). “Barangsiapa tidak beriman pada takdir-Ku: enak atau tidak enak, maka Aku tidak akan mengurusinya lagi” (HQR. Abu Ya’la dari Abu Hurairah r.a)
Sebaliknya, jika Anda ikhlas dan ridlo terhadap takdir Allah, Anda mendapat empat bonus kebahagiaan: jiwa yang bahagia, fisik yang lebih sehat, doa yang mudah terkabul dan kematian yang menyenangkan. Allah sangat senang melihat Anda dan Anda pun senang menerima apapun pemberian-Nya. Jika Anda meninggal pada saat demikian, Allah akan merangkul Anda. Keharuman ruh Anda menjadi rebutan malaikat di langit yang mengantarkan ruh ke pemiliknya yang sejati, Allah SWT.
Dengan puasa, Anda juga harus merdeka dari mental peminta. Ramadan adalah bulan kedatangan Malaikat Jibril untuk bertadarus Al Qur’an dengan Nabi SAW. Ia mendengarkan dengan seksama ayat demi ayat yang dibaca Nabi SAW. Bacaan Al Qur’an Anda juga selalu didengar para malaikat.  Berbahagialah dengan Al Qur’an dan bersenanglah Anda berdampingan dengan para malaikat selama Anda membaca ayat-ayat Allah itu. Salah satu pesan Jibril ketika bertemu Nabi SAW adalah, “(Wahai Muhammad)… manusia perkasa adalah manusia yang tidak bergantung lagi kepada manusia” (wa‘izzahu istighnaa-uhu ‘anin naas) (HR Al Baihaqi dari Jabir r.a). Muslim perkasa adalah muslim mandiri: tidak mengharap pemberian atau jasa orang lain, tapi berusaha bagaimana bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, bahkan berprinsip “aku harus menjadi pemberi.” Saya teringat beberapa sopir taksi di Inggris yang rata-rata sudah lansia. Mereka ingin hidup mandiri, tidak mau bergantung kepada siapapun termasuk anaknya sendiri. Dengan puasa dan sedekah selama Ramadan, kita berusaha meniru Allah: tidak makan, tapi selalu memberi makan orang.
Saya mengajak semua orang, termasuk yang tidak kaya untuk berbuka puasa dengan separuh porsi saja, agar bisa berbagi buka puasa pada orang lain. Dengan cara itu, saya menawarkan tiga bonus: ramadlan bukan menjadi bulan menumpuk lemak, shalat taraweh Anda aman dari kantuk yang biasanya terjadi karena terlalu kenyang, dan Anda mendapat tambahan pahala senilai sehari puasa dari penerima sedekah Anda.
Tahukah Anda jumlah orang miskin penerima BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) sekarang ini 15,5 juta orang.  Mereka berebut dan berdesakan menerimanya sampai tidak terasa menginjak wanita tua sampai ia meninggal. Inilah bantuan yang menyebabkan kepala desa takut diserbu warga, karena antara data penerima tertulis  dengan kenyataan di lapangan berbeda. Tertulis sebagai orang miskin, tapi ternyata rumah dan gaya hidupnya tidak menunjukkan kemiskinan. Sedangkan tetangga sebelahnya penghuni rumah kecil, pekerja penarik sampah tidak tercatat dalam daftar penerima BLSM. Terjadilah konflik horisontal dan vertikal. Semua konflik  itu terjadi karena kebanyakan orang tidak merdeka dari mental peminta. Mereka tidak malu dengan pekerja perawat taman kota di Surabaya yang beberapa hari yang lalu diwawancarai sebuah stasiun televisi, menolak BLSM karena melihat ada orang yang jauh lebih membutuhkan dari dirinya. Kenapa kita lebih suka diberi daripada memberi?. Tidakkah menurut Nabi, manusia pemberi lebih terhormat dari penerima. Maukah?
Bebaskan diri dari ketergantungan orang lain. Termasuk, bergantung pada orang lain untuk menuntun bacaan kalimat tauhid menjelang mati Anda. Orang yang menerima wasiat  Anda untuk mengajari la ilaha illallah itu tidak dijamin mati lebih akhir dari Anda. Biasakan membaca kalimat tauhid itu, agar terbentuk reflektivitas atau sensor otomatis, sehingga jika sewaktu-waktu Malaikat Izrail datang, secara otomatis Anda mengucapkannya dengan tegas dan benar, tanpa diajari siapapun.
Bagaimana dengan bacaan surat Yasin untuk orang yang akan meninggal? Nabi  SAW bersabda, “Yasin adalah jantung Al Qur’an. Siapapun membacanya dengan tujuan ridla Allah dan pahala akhirat, pastilah ia diampuni dosanya. Bacalah surat itu untuk siapapun di antara kalian yang akan meninggal” (HR Ahmad dan Abu Daud dari Ma’qil bin Yasar ra).  Hampir semua ulama sepakat bahwa bacaan Yasin untuk orang yang akan meninggal mendatangkan ridla Allah dan keringanan (ampunan)-Nya. Dalam hal ini, sebaiknya Anda juga tidak bergantung kepada orang lain. Sebab bisa saja terjadi, Anda meninggal sendirian tanpa ada orang mengetahuinya. Mengapa Anda tidak menghafal saja Surat Yasin mulai sekarang? Ada seorang guru sekolah dasar di Lamongan yang menjelang matinya membaca Surat Yasin sampai selesai dalam keadaaan setengah sadar. Beberapa detik setelah itu ia menutup akhir hayatnya dengan kalimat tauhid, la ilaha illallah. Silakan mulai menghafal surat itu, sedikit demi sedikit. Saya yakin bisa, jika ada kemauan dan memiliki mental kemandirian.   
Merdeka! Selamat menjadi manusia merdeka dari mental mengeluh dan mental peminta. Hasbunallah wani’mal wakil. (Kun Yaquta Foundation: 031.77337800)
sumber gambar: http://www.iluvislam.com/wp-content/uploads/2011/12/merpati1.jpg
Artikel ini dikutip dari :http://www.terapishalatbahagia.net/berjiwa-merdeka-dengan-puasa/

Kemerdekaan yang Sempurna



Karya : Zainuri Faiq (My Beloved Brother)

Dahulu kala sebuah kalimat menjadi pusaka
Dahulu kala buah bibir menjadi pemersatu
Sedikit ucapan menyimpan sejuta arti
Mereka bukan diorama pencipta drama
Mereka berada dalam dimensi klasik
Yang kita kenal dengan sejarah Indonesia
Andai semua orang tahu
Tak akan ada lagi syahdu
Hanya untuk kita mereka berjuang
Tanpa ada rasa pamrih
Mungkin air mata tipis yang tercecer tersembunyi
Kemerdekaan yang sempurna
Apakah hanya engkau pemiliknya?
Padahal kau hanya masa lalu
Darahmu surgamu
Darahmu kini bahagiaku
Tumpahkanlah kami darahmu yang dulu
Untuk Indonesiaku sekarang
Salam kami untuk negeri
Kemerdekaan yang sempurna

                                    Jombang, 08 Mei 2016

Menyelamatkan Demokrasi

Masdar Hilmy, PhD
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur

SIAPA pun yang menyaksikan drama politik nasional pasti dibuat bingung dengan aksi teatrikal sejumlah elite politik di Senayan.

Pengesahan Undang-Undang Pilkada oleh DPRD menjadi titik balik yang menggerus optimisme rakyat akan tercapainya transisi dan konsolidasi full-fledged democracy di negeri ini. Meminjam Cristopher Lasch (1996), perilaku elite di balik pengesahan UU Pilkada oleh DPRD merupakan bentuk pengkhianatan atas demokrasi (betrayal of democracy) di jantung demokrasi.
Sinyalemen "pengkhianatan atas demokrasi" mungkin terkesan hiperbolis. Namun, sinyalemen itu harus menjadi bahan refleksi bagi para elite partai politik sebelum rakyat benar-benar murka dan menarik mandat mereka. Kekuasaan yang diraih para wakil rakyat bukanlah cek kosong untuk berbuat semau gua tanpa mengindahkan aspirasi si pemberi mandat. Sudah saatnya partai politik secara cerdas membaca aspirasi rakyat melalui hasil-hasil survei sebagai basis bagi gerak langkahnya. Pengabaian aspirasi rakyat merupakan tindakan arogan yang dapat mencederai amanat mereka.
Dekonsolidasi demokrasi
Dalam konteks ini, yang dipertontonkan sejumlah elite di gedung parlemen menunjukkan gerak mundur demokrasi. Dalam ungkapan lain, perjalanan demokrasi mengalami dekonsolidasi atau penguraian kembali benang-benang demokrasi yang telah terpintal dengan sedemikian rapi, rancak, dan apik.
Ironisnya, penguraian kembali benang-benang demokrasi bukan dilakukan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kekuasaan di negeri ini, tetapi oleh para elite partai politik sebagai wakil mereka! Sebuah gambaran sempurna dari pemangkasan hak-hak politik warga untuk menentukan sendiri pemimpin yang dikehendaki.
Juan J Linz & Alfred Stepan dalam Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996) menggambarkan demokratisasi sebagai proses dua tahap: tahap transisi dan konsolidasi. Tahap transisi adalah ketika sebuah rezim demokrasi memenuhi empat persyaratan berikut, yaitu 1) terdapat kesepakatan tentang prosedur dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang demokratis; 2) pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilu langsung; 3) pemerintah memiliki otoritas merumuskan kebijakan-kebijakannya, 4) tak ada pembagian kekuasaan (power sharing) di luar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tahap kedua, ketika demokrasi sudah terkonsolidasi, ditandai dengan tiga karakteristik berikut; 1) dalam hal perilaku, tidak ada kelompok politik yang berusaha menggulingkan rezim demokratis melalui kekerasan atau intervensi asing; 2) dalam hal sikap, opini publik mayoritas rakyat meyakini bahwa perubahan politik harus dilakukan dalam kerangka parameter demokrasi, bahkan dalam kondisi krisis ekonomi dan politik yang parah sekalipun; 3) dalam hal konstitusi, semua kekuatan pemerintah dan non-pemerintah sepakat bahwa konflik politik diselesaikan melalui prosedur dan institusi hukum dalam kerangka rezim demokrasi.
Melihat parameter di atas, menjadi tak relevan untuk mempertanyakan kembali signifikansi pemilihan langsung dalam sistem demokrasi dengan dalih mahalnya biaya politik dan maraknya politik uang. Bahwa terdapat banyak kekurangan dalam pemilihan langsung tak berarti mekanisme ini harus dihapus dan diganti dengan pemilihan tidak langsung oleh parlemen.
Mekanisme pemilihan langsung jelas tidak bisa dipersalahkan atas sejumlah kekurangan yang ada, tetapi isunya adalah bagaimana agar segala bentuk kekurangan itu bisa ditekan dan dihilangkan. Kelemahan pemilihan langsung sangat terkait dengan integritas moral dan budaya politik bangsa kita yang masih membuka peluang bagi beraneka bentuk moral hazard dimaksud.
Selain argumentasi di atas, ada pula sejumlah pengusung pemilihan tidak langsung yang mendasarkan argumentasinya pada pertentangan antara demokrasi liberal Barat (sebagai representasi pemilihan langsung) dan Pancasila (sebagai representasi sistem perwakilan atau pemilihan tidak langsung).
Memperhadapkan keduanya secara diametral bukan saja merupakan sebentuk simplifikasi berpikir, tetapi juga reduksionisme epistemologis. Demokrasi dan Pancasila bukanlah konsep yang ekuivalen untuk diperbandingkan, terlebih diperhadapkan. Keduanya lebih merupakan flesh and blood dalam sistem kehidupan bernegara dan berbangsa yang saling melengkapi.
Dalam konteks ini, pemilihan langsung ataupun tidak langsung jelas tidak ada kaitan dengan Barat atau Timur, liberalisme atau Pancasila, bertuhan atau tidak bertuhan, dan semacamnya. Memilih langsung seorang pemimpin—terutama dalam sistem politik presidensialisme—merupakan bagian dari hak-hak dasar warga (civic rights) yang tidak bisa diwakilkan. Sejalan dengan itu, pemenuhan negara atas hak-hak sipil warga bukanlah soal pilihan, melainkan kewajiban negara untuk terus mengawal dan melindungi.
Perlawanan rakyat semesta
Sampai di sini, rasanya kita sulit menampik kenyataan bahwa demokrasi kita sedang mengalami titik kritis. Demokrasi kita mengalami kondisi darurat pertolongan (SOS). Perlu langkah-langkah kolektif dan sistematis untuk menyelamatkan demokrasi kita dengan cara menghentikan tindakan anarkistis pihak-pihak tertentu yang coba memangkas dan melucuti hak-hak dasar warga.
Meskipun demikian, langkah-langkah penyelamatan mestinya tidak perlu terjadi seandainya tidak ada "dusta di antara kita" melalui aksi teatrikal sejumlah elite partai politik di Senayan. Tidak perlu pula Presiden mengeluarkan jurus "penyelamatan citra" melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), seandainya setiap proses demokrasi tidak mengalami pereduksian dan pendangkalan makna.
Namun, sudahlah. Mari kita apresiasi niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perppu. Ibarat pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Terpenting lagi, gerakan perlawanan harus dimulai dari semua elemen masyarakat, seperti kelompok masyarakat sipil (LSM), tokoh agama, elite politik, akademisi kampus, mahasiswa, dan masyarakat pinggiran. Artinya, langkah menyelamatkan demokrasi harus dimulai dari setiap kita yang masih mencintai Indonesia dan demokrasi. Tanpa gerakan perlawanan rakyat semesta, pengerdilan dan pereduksian atas nama demokrasi akan terus terjadi di panggung politik kita.
Memang partai politik yang berusaha melawan aspirasi rakyat pasti akan mendapat hukuman dari konstituen pada saat pemilu. Namun, kita tidak perlu menunggu masa lima tahun lagi untuk menentukan sikap kita dalam menegakkan hak-hak dasar warga.
Yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan para petinggi negeri ini bahwa memelihara hak-hak dasar warga itu sama pentingnya dengan mengatasi sejumlah kekurangan dalam pemilihan langsung, tidak malah menggantinya dengan sistem dan mekanisme yang mundur ke belakang. Sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, raison d'etre institusi demokrasi adalah untuk menjamin, menjaga, dan melindungi hak-hak dasar warga dalam menentukan pilihan politiknya. Kita telanjur berada pada tahap point of no return dalam berdemokrasi.
Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 15 Oktober 2014
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/16/menyelamatkan-demokrasi