Masdar Hilmy, PhD
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur
SIAPA pun yang menyaksikan drama politik nasional pasti dibuat bingung dengan aksi teatrikal sejumlah elite politik di Senayan.
Pengesahan
Undang-Undang Pilkada oleh DPRD menjadi titik balik yang menggerus
optimisme rakyat akan tercapainya transisi dan konsolidasi full-fledged
democracy di negeri ini. Meminjam Cristopher Lasch (1996), perilaku
elite di balik pengesahan UU Pilkada oleh DPRD merupakan bentuk
pengkhianatan atas demokrasi (betrayal of democracy) di jantung
demokrasi.
Sinyalemen
"pengkhianatan atas demokrasi" mungkin terkesan hiperbolis. Namun,
sinyalemen itu harus menjadi bahan refleksi bagi para elite partai
politik sebelum rakyat benar-benar murka dan menarik mandat mereka.
Kekuasaan yang diraih para wakil rakyat bukanlah cek kosong untuk
berbuat semau gua tanpa mengindahkan aspirasi si pemberi mandat. Sudah
saatnya partai politik secara cerdas membaca aspirasi rakyat melalui
hasil-hasil survei sebagai basis bagi gerak langkahnya. Pengabaian
aspirasi rakyat merupakan tindakan arogan yang dapat mencederai amanat
mereka.
Dekonsolidasi demokrasi
Dalam
konteks ini, yang dipertontonkan sejumlah elite di gedung parlemen
menunjukkan gerak mundur demokrasi. Dalam ungkapan lain, perjalanan
demokrasi mengalami dekonsolidasi atau penguraian kembali benang-benang
demokrasi yang telah terpintal dengan sedemikian rapi, rancak, dan apik.
Ironisnya,
penguraian kembali benang-benang demokrasi bukan dilakukan oleh rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kekuasaan di negeri ini, tetapi
oleh para elite partai politik sebagai wakil mereka! Sebuah gambaran
sempurna dari pemangkasan hak-hak politik warga untuk menentukan sendiri
pemimpin yang dikehendaki.
Juan
J Linz & Alfred Stepan dalam Problems of Democratic Transition and
Consolidation (1996) menggambarkan demokratisasi sebagai proses dua
tahap: tahap transisi dan konsolidasi. Tahap transisi adalah ketika
sebuah rezim demokrasi memenuhi empat persyaratan berikut, yaitu 1)
terdapat kesepakatan tentang prosedur dan mekanisme penyelenggaraan
pemilu yang demokratis; 2) pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat
dalam sebuah pemilu langsung; 3) pemerintah memiliki otoritas merumuskan
kebijakan-kebijakannya, 4) tak ada pembagian kekuasaan (power sharing)
di luar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tahap
kedua, ketika demokrasi sudah terkonsolidasi, ditandai dengan tiga
karakteristik berikut; 1) dalam hal perilaku, tidak ada kelompok politik
yang berusaha menggulingkan rezim demokratis melalui kekerasan atau
intervensi asing; 2) dalam hal sikap, opini publik mayoritas rakyat
meyakini bahwa perubahan politik harus dilakukan dalam kerangka
parameter demokrasi, bahkan dalam kondisi krisis ekonomi dan politik
yang parah sekalipun; 3) dalam hal konstitusi, semua kekuatan pemerintah
dan non-pemerintah sepakat bahwa konflik politik diselesaikan melalui
prosedur dan institusi hukum dalam kerangka rezim demokrasi.
Melihat
parameter di atas, menjadi tak relevan untuk mempertanyakan kembali
signifikansi pemilihan langsung dalam sistem demokrasi dengan dalih
mahalnya biaya politik dan maraknya politik uang. Bahwa terdapat banyak
kekurangan dalam pemilihan langsung tak berarti mekanisme ini harus
dihapus dan diganti dengan pemilihan tidak langsung oleh parlemen.
Mekanisme
pemilihan langsung jelas tidak bisa dipersalahkan atas sejumlah
kekurangan yang ada, tetapi isunya adalah bagaimana agar segala bentuk
kekurangan itu bisa ditekan dan dihilangkan. Kelemahan pemilihan
langsung sangat terkait dengan integritas moral dan budaya politik
bangsa kita yang masih membuka peluang bagi beraneka bentuk moral hazard
dimaksud.
Selain
argumentasi di atas, ada pula sejumlah pengusung pemilihan tidak
langsung yang mendasarkan argumentasinya pada pertentangan antara
demokrasi liberal Barat (sebagai representasi pemilihan langsung) dan
Pancasila (sebagai representasi sistem perwakilan atau pemilihan tidak
langsung).
Memperhadapkan
keduanya secara diametral bukan saja merupakan sebentuk simplifikasi
berpikir, tetapi juga reduksionisme epistemologis. Demokrasi dan
Pancasila bukanlah konsep yang ekuivalen untuk diperbandingkan, terlebih
diperhadapkan. Keduanya lebih merupakan flesh and blood dalam sistem
kehidupan bernegara dan berbangsa yang saling melengkapi.
Dalam
konteks ini, pemilihan langsung ataupun tidak langsung jelas tidak ada
kaitan dengan Barat atau Timur, liberalisme atau Pancasila, bertuhan
atau tidak bertuhan, dan semacamnya. Memilih langsung seorang
pemimpin—terutama dalam sistem politik presidensialisme—merupakan bagian
dari hak-hak dasar warga (civic rights) yang tidak bisa diwakilkan.
Sejalan dengan itu, pemenuhan negara atas hak-hak sipil warga bukanlah
soal pilihan, melainkan kewajiban negara untuk terus mengawal dan
melindungi.
Perlawanan rakyat semesta
Sampai
di sini, rasanya kita sulit menampik kenyataan bahwa demokrasi kita
sedang mengalami titik kritis. Demokrasi kita mengalami kondisi darurat
pertolongan (SOS). Perlu langkah-langkah kolektif dan sistematis untuk
menyelamatkan demokrasi kita dengan cara menghentikan tindakan
anarkistis pihak-pihak tertentu yang coba memangkas dan melucuti hak-hak
dasar warga.
Meskipun
demikian, langkah-langkah penyelamatan mestinya tidak perlu terjadi
seandainya tidak ada "dusta di antara kita" melalui aksi teatrikal
sejumlah elite partai politik di Senayan. Tidak perlu pula Presiden
mengeluarkan jurus "penyelamatan citra" melalui peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu), seandainya setiap proses demokrasi
tidak mengalami pereduksian dan pendangkalan makna.
Namun,
sudahlah. Mari kita apresiasi niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan perppu. Ibarat pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak
sama sekali. Terpenting lagi, gerakan perlawanan harus dimulai dari
semua elemen masyarakat, seperti kelompok masyarakat sipil (LSM), tokoh
agama, elite politik, akademisi kampus, mahasiswa, dan masyarakat
pinggiran. Artinya, langkah menyelamatkan demokrasi harus dimulai dari
setiap kita yang masih mencintai Indonesia dan demokrasi. Tanpa gerakan
perlawanan rakyat semesta, pengerdilan dan pereduksian atas nama
demokrasi akan terus terjadi di panggung politik kita.
Memang
partai politik yang berusaha melawan aspirasi rakyat pasti akan
mendapat hukuman dari konstituen pada saat pemilu. Namun, kita tidak
perlu menunggu masa lima tahun lagi untuk menentukan sikap kita dalam
menegakkan hak-hak dasar warga.
Yang
perlu kita lakukan adalah mengingatkan para petinggi negeri ini bahwa
memelihara hak-hak dasar warga itu sama pentingnya dengan mengatasi
sejumlah kekurangan dalam pemilihan langsung, tidak malah menggantinya
dengan sistem dan mekanisme yang mundur ke belakang. Sebagaimana dikutip
di awal tulisan ini, raison d'etre institusi demokrasi adalah untuk
menjamin, menjaga, dan melindungi hak-hak dasar warga dalam menentukan
pilihan politiknya. Kita telanjur berada pada tahap point of no return
dalam berdemokrasi.
Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 15 Oktober 2014
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/16/menyelamatkan-demokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar