Prof Dr H M Ali Aziz, M.Ag
Guru Besar Ilmu Dakwah UINSA Surabaya
Sumber gambar: www.wallpaperislami.com
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ ذِكۡرٗا كَثِيرٗا ٤١ وَسَبِّحُوهُ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلًا ٤٢
Hai
orang-orang yang beriman berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah,
dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu
pagi dan petang (QS. Al Ahzab [33]:41-42).
Ayat di atas memerintahkan kita untuk banyak berdzikir, yaitu menyebut
nama-nama Allah secara lisan dengan mengingat sifat-sifat-Nya atau hanya
mengingatnya dalam hati. Dengan pengertian dzikir yang luas ini, maka
shalat, membaca Al Qur’an, bershalawat, belajar dan sebagainya termasuk
kegiatan dzikir.
Menurut Ibnu Abbas r.a, semua kewajiban pasti disertai
ketentuan waktu dan dispensasi bagi yang berhalangan. Tapi, untuk
berdzikir tidak ada ketentuan demikian, bahkan kita diperintah berdzikir
dalam keadaan apapun: miskin atau kaya, gembira atau sedih, sehat atau
sakit , pagi, siang, atau malam, berdiri atau duduk, berjalan atau
berbaring, sedang bekerja atau istirahat. Sebanarnya, bertasbih termasuk
kegiatan berdzikir, tapi dalam ayat ini disebut secara khusus, sebab ia
merupakan zikir pemurnian iman dan pembersih dari pikiran negatif,
termasuk berburuk sangka kepada Allah.
Cobalah Anda renungkan salah satu bacaan tasbih Rasulullah SAW berikut ini: “Subhanallah ‘adada khalqih, subhanallah ridla nafsih, subhanallah zinata ‘arsyih, subhanallah midada kalimatih”
(aku bertasbih sebanyak bilangan makhluk ciptaan-Nya, sampai Allah
senang dengan diri-Nya, senilai arasy di langit tertinggi, dan bertasbih
tiada henti sampai dunia kehabisan tinta untuk menulisnya).
Jika Anda banyak berdzikir, maka berbagai anugerah Allah akan Anda
peroleh, bahkan dibanggakan Allah di hadapan para malaikat, lalu para
malaikat mengucapkan salam untuk Anda ketika hendak memasuki surga,
sebagaimana dijelaskan pada lanjutan ayat di atas (ayat 43,44) (Hamka,
Juz 22: 55). Allah SWT juga berfirman, “Ingatlah akan Aku, niscaya Aku akan mengingatmu, dan bersyukurlan kepada-Ku dan jangalah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS. Al Baqarah [02]:152).
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman,
عَنْ
اَبِى سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ يَقُوْلُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ
مَنْ شَغَلَهُ الْقُرْأَنُ وَذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِى أَعْطَيْتُهُ
اَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِيْنَ وَفَضْلُ كَلَامِ اللهِ عَلَى سَا
ئِرِ الْكَلَامِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ رواه الترمذي
Abu
Said Al Khudry r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda, Allah ‘Azza
Wajalla berfirman, “Barangsiapa sibuk membaca Al Qur’an dan berdzikir
sampai tidak sempat mengajukan permohonan kepada-Ku, maka Aku akan
memberinya anugerah yang lebih berharga daripada yang Aku berikan kepada
para pemohon. Ketahuilah, nilai kalam Allah lebih tinggi dari semua
perkataan makhluk seperti ketinggian Allah dibanding makhluk-Nya (HR. Al Turmudzi).
Muhammad ‘Awwaamah (2013:446) mengatakan orang-orang yang hanyut dalam
kesibukan membaca Al Qur’an dan berzikir lebih dimuliakan Allah daripada
para peminta, sebab mereka lebih menonjolkan kewajibannya untuk
mengagungkan Allah daripada haknya untuk meminta kepada-Nya. Dr. Imam
Ghozali Said, MA menambahkan itulah filosofi Surat Al Fatihah. Dari
tujuah ayat, hanya ada satu ayat (10%) yang berisi permohonan sedangkan
sisanya (90%) berisi pemujaan atau sanjungan untuk Allah SWT.
Berkaitan dengan hadis di atas, ijinkan saya bercerita tentang dua
pembantu rumah tangga, Rukmini dan Hartatik (keduanya nama fiktif).
Mereka sudah bekerja lebih dari sembilan tahun di rumah pemilik hotel di
Tainan, Taiwan. Sang majikan dan anak-anaknya sangat puas dengan kerja
mereka, bahkan tiga anaknya tidak bisa berpisah seharipun dengan mereka.
Setiap diberi cuti pulang setelah dua tahun bekerja, dua anak majikan
yang masih kecil diikutkan Rukmini ke Indonesia walaupun agak lama: dua
atau tiga minggu.
Tipe dua TKI tersebut berbeda. Rukmini lebih gaul, sehingga dalam
banyak kesempatan, khususnya ketika cuti pulang, dengan nada sedikit
gurau ia meminta hadiah dan diiyakan oleh majikan. Sedangkan Hartatik,
jarang bicara dan tidak pernah meminta hadiah apapun. Ia hanya fokus
bekerja dan bekerja.
Ketika Hartatik pamit pulang untuk menikah, sang majikan memberi gaji
sesuai perjanjian, dan di luar dugaan, ia juga memberi tambahan uang
lebih dari cukup untuk biaya pesta perkawinan. Bahkan ia memberinya
sebuah amplop angpao merah dengan tulisan tangan bahasa Taiwan, “Spesial
untuk berbulan madu.” Ha ha. Jika dikalkulasi, pembantu pendiam asal
Madiun yang fokus mengabdi itu menerima hadiah lebih banyak daripada
yang diterima Rukmini setiap pulang cuti ke Indonesia.
Dalam beribadah selama ini, apakah Anda bertipe Rukmini yang selalu
meminta atau Hartatik yang fokus bekerja dan mengabdi, tanpa sekalipun
meminta bonus? Wah, jangan kedua-duanya. Jika Anda hanya memuji Allah
dan tidak memohon sesuatu apapun, Allah sangat murka, sebab Anda
sombong, merasa sudah mampu hidup tanpa campur tangan Allah. Allah SWT
berfirman, “Barangsiapa tidak berdoa, maka Aku marah kepadanya” (HQR.’Askary dari Abu Hurairah r.a). Ikutilah semua nabi yang selalu berdoa dalam segala hal (QS. Al Anbiyak [21]: 83-90).
Jika Anda terus menerus meminta sampai kurang waktu untuk memperbanyak
membaca Al Qur’an, bertasbih, bertahmid dan bershalawat, apakah Anda
tidak malu, sebab Anda seolah-olah sedang membalik ayat dalam surat Al
Fatihah, yang seharusnya “iyyaka na’bud waiyyaka nastain: kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan” menjadi “iyyaka nastain waiyyaka na’budu: kepada-Mu kami memohon pertolongan dan kepada-Mu kami menyembah?”
Apakah Anda tidak malu pula dengan ‘Imran bin Hushain yang menangis di tengah malam, “Wahai
Allah, mengapa aku tidak Engkau jadikan debu sehingga cepat lenyap
ditiup angin, karena aku kehabisan kata dan daya untuk mengagungkan-Mu
sesuai dengan kebesaran-Mu yang sesungguhnya?”
Mengapa Anda bertipe Rukmini? Ingatlah pesan Syekh Ahmad ibnu ‘Athaillah, “Al mukminu yusyghiluhus tsana-u ‘alallahi ta’ala ‘an an yakuna linafsihi syakira. Laisal muhib alladzi yarju min mahbubihi ‘iwadla aw yathlubu minhu ‘aradla, fainnal muhibba man yabdzulu laka, laisal muhibbu man tabdzulu lahu
(mukmin sejati selalu sibuk memuji Allah sehingga ia tidak sempat
mengingat kepentingan dirinya sendiri. Pecinta bukanlah yang meminta
sesuatu dari sang kekasih, melainkan yang selalu memberi segalanya
untuknya yang terkasih).
Tulisan ini hanya untuk introspeksi dan mengajak merenung sejenak. Di
sela-sela ibadah kita yang banyak meminta Allah, kapankah kita sediakan
waktu yang agak panjang untuk hanya memuji, menyanjung dan mengagungkan
Allah dan Rasulullah, tanpa sedikitpun terlintas meminta untuk
sesuatupun. Setelah itu, kita lanjutkan paduan antara menyembah dan
meminta (iyyaka na’budu waiyyaka nastain) seperti kebiasaan
semula. Saatnya kita berubah: perbanyak porsi memuja daripada meminta.
Dengan cara itu, yakinlah Anda akan lebih ceria dan pasti lebih bahagia.
Sambutlah senyum Allah untuk Anda.
Surabaya, 25 Pebruari 2016
Referensi: (1) Hamka, Tafsir Al Azhar Juz XXII: p. 55; (2) M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Vol 10: 494; (3) Muhammad ‘Awwaamah, Minas Shihah Al Ahadits Al Qudsiyyah: Mi’ah Hadits Qudsi Ma’a Syarhiha (Seratus Syarah Hadis Qudsi), Noura Books, Jakarta Selatan 2013, p. 446-449); (4) Syekh Ibnu Athaillah, Al Hikam, terj. Salim Bahreisy, Penerbit Balai Buku, Surabaya, 1984, p. 182-183). (5) Moh. Ali Aziz, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, IAIN Press, Surabaya, 2012.
Artikel ini di kutip dari : www.uinsby.ac.id/kolom/id/165/bahagia-memuja-tanpa-meminta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar