Oleh : Dr Biyanto, Dosen Fak. Ushuludiin & Filsafat, UINSA Surabaya
KEMENTERIAN Agama (Kemenag) genap berusia 70 tahun pada 3 Januari 2016. Dalam usia yang sangat matang itu, Kemenag semestinya berbenah. Moto ”Ikhlas Beramal” harus menjadi spirit dalam memberikan pelayanan kepada umat. Kemenag juga harus benarbenar menunjukkan diri sebagai departemen ”suci”. Harapan tersebut penting karena publik mulai menyoal integritas Kemenag.
Integritas departemen ”suci” dipertanyakan seiring dengan munculnya kasus korupsi di Kemenag. Di antaranya adalah kasus korupsi pencetakan mushaf Alquran. Bayangkan, pencetakan kitab suci Alquran ternyata tidak luput dari perilaku koruptif. Kasus lain yang juga menyita perhatian publik adalah gratifikasi penerimaan honor jasa kepenghuluan di kantor urusan agama (KUA).
Puncaknya tentu saja kasus korupsi haji yang melibatkan mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali (SDA). Bahkan, SDA ditetapkan sebagai tersangka saat masih aktif menjabat Menag. Dalam lanjutan sidang kasus korupsi haji pada Rabu (23/12), SDA dinyatakan bersalah dan dituntut sebelas tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
SDA semestinya banyak belajar pada kasus yang dialami mantan Menag Said Agil Husin Al Munawar yang menghadapi tuduhan korupsi dana abadi umat (DAU) dan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Dalam persidangan yang digelar pada 2005, Said Agil dinyatakan bersalah dan diganjar lima tahun penjara. Beberapa kasus korupsi itu menunjukkan potret buram wajah Kemenag.
Pengelolaan dana penyelenggaraan ibadah haji memang sangat rawan diselewengkan. Terutama dana yang bersumber dari bunga setoran calon jamaah haji di bank-bank mitra Kemenag. Penyelewengan dana ibadah haji juga berpotensi terjadi pada pengadaan barang dan jasa seperti pakaian batik, tas, buku tuntunan ibadah, pemondokan, akomodasi, transportasi, serta katering.
Karena pejabatnya sering tersandung kasus korupsi, integritas Kemenag terus disorot. Padahal, KPK telah memberikan peringatan kepada Kemenag. Berdasar hasil survei integritas yang dilakukan KPK pada November 2011, Kemenag diposisikan di peringkat paling buncit. Survei dilakukan terhadap 98 instansi, meliputi 22 instansi pusat, 7 instansi vertikal, dan 69 instansi pemerintah daerah. Hasil survei menunjukkan bahwa indeks integritas Kemenag hanya 5,37, jauh di bawah integritas pusat yang mencapai 7,07.
Dengan nilai integritas yang rendah itu, artinya kasus korupsi masih banyak terjadi di Kemenag. Bukan hanya Kemenag tingkat pusat dan daerah, di level kecamatan pun praktik gratifikasi dengan mudah dapat dijumpai. Indikatornya antara lain adalah besaran biaya administrasi pernikahan di KUA yang tidak pernah menentu. Apalagi, penerimaan honor jasa kepenghuluan ternyata tidak masuk ke kas KUA, tapi menjadi sumber pendapatan penghulu.
Dana setoran calon jamaah haji yang melimpah juga menjadikan Kemenag sorotan publik. Apalagi jika menengok biaya haji yang ditetapkan pemerintah ternyata paling tinggi dibanding negara lain. Padahal, pelayanan yang diberikan pemerintah masih jauh dari memuaskan. Dampaknya, banyak keluhan yang dirasakan jamaah. Untung, jamaah haji tergolong penyabar dan nrimo ing pandum. Pelayanan yang ala kadarnya selama proses ibadah haji umum dianggap ujian.
Kasus korupsi pencetakan mushaf Alquran,gratifikasijasakepenghuluan di KUA, penyelewengan dana ibadah haji, dan hasil survei integritas KPK jelas telah mencoreng institusi Kemenag. Padahal, Kemenag diharapkan menjadi benteng dari kebobrokan moral bangsa. Sangat disayangkan, kasus korupsi dengan berbagai ekspresinya justru terjadi di Kemenag. Tidak mengherankan jika perspektif publik pada Kemenag berubah.
Pegawai Kemenag yang setiap hari mengurusi agama dianggap tidak mampu menjadi agen pemberantasan korupsi. Pertanyaannya,mengapaKemenagyang umumnya diisi orang yang berlatar belakang pendidikan agama justru terlibat kasus korupsi? Jawabnya, sangat mungkin oknum yang terlibat itu belum memahami kriteria tindakan yang bisa dikategorikan korupsi. Apalagi, modus korupsi ternyata sangat bervariasi. Ekspresi korupsi pun mewujud dalam banyak wajah ( multiface).
Realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat menunjukkan betapa praktik korupsi telah disamarkan dengan banyak istilah. Misalnya, masyarakat mengenal istilah uang administrasi, uang tip, angpao, uang diam, uang bensin, uang pelicin, uang ketok, uang kopi, uang makan, uang pangkal, uang rokok, uang damai, uang di bawah meja, uang tahu sama tahu, dan uang lelah. Berbagai istilah di atas merupakan bagian dari ekspresi korupsi.
Publik jelas berharap keluarga besar Kemenag terus belajar pada kasus-kasus korupsi yang selama ini terjadi. Sebagai nakhoda departemen ”suci”, Menag Lukman Hakim Saifuddin yang berlatar belakang politikus-santri modern diharapkan bisa mewujudkan integritas di lingkungan Kemenag. Jika budaya berintegritas itu melekat dalam diri setiap pegawai dan pejabatnya, pada saatnya publik akan menyaksikan wajah Kemenag benar-benar suci.
Artikel ini sudah dimuat di Opini Jawa Pos, 4/1/2016
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/153/berharap-kemenag-benar-benar-suci
Tidak ada komentar:
Posting Komentar