Oleh : Dra. Wahidah Zein Br Siregar, MA. Ph.D, Dosen Prodi Sosiologi, FISIP UINSA Surabaya
Beberapa
waktu lalu saya mengantarkan seorang teman menuju bandar udara
(bandara) Juanda, di terminal 2. Waktu itu hari masih pagi. Teman
tersebut akan naik pesawat Garuda penerbangan pertama menuju Jakarta,
pukul 5.25 WIB. Karenanya kami berangkat dari rumah jam 4 pagi.
Kebetulan rumah saya memang berjarak sekitar 10 km dari bandara.
Sehingga jika tidak ada rintangan apa-apa saya akan sampai di Bandara
dalam waktu kurang dari 30 menit.
Hampir
memasuki bandara, ternyata terjadi kemacetan di depan pintu masuk.
Mobil-mobil antri untuk mengambil karcis parkir yang diambil melalui
mesin. Tidak ada petugas yang mengambilkan karcis buat para supir,
meskipun terkadang ada juga anggota marinir dengan seragam lorengnya
yang khas membantu mengambilkannya. Beberapa kali saya mendapat
pertolongan ini. Kebetulan memang cukup sering saya menjadi supir,
mengantar atau menjemput keluarga atau teman di bandara ini.
Apa
yang menjadi sumber kemacetan? Selain volume mobil yang banyak,
ternyata satu dari dua mesin karcis mengalami kerusakan, sehingga semua
mobil tertuju pada satu pintu masuk saja. Namun, semua mobil yang masuk
tampaknya sabar menunggu antriannya tiba. Tetapi, tanpa disangka, dari
sisi kiri saya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berplat kendaraan dinas
militer dengan warnanya yang khas melaju dengan kencang dan kasar
berusaha menyalip mobil saya. Padahal saya sudah hampir mencapai mesin
karcis parkir. Dia berusaha menerobos mendahului mobil saya, memotong
antrian mobil yang panjang ini. Dia membuka jendela mobilnya,
menjulurkan tangannya meminta agar bisa langsung mendekati mesin dan
mengambil karcis. Saya tidak bisa melihat dengan jelas siapa supir mobil
ini. Tetapi tentulah dia seorang anggota militer. Kalau tidak, tentu
tidak boleh dia mengendarai mobil dinas militer tersebut.
Dengan
mengelus dada saya memberi jalan padanya. Memberinya kesempatan untuk
mendahului mobil saya. Saya berusaha untuk berpikir positif, pastilah
dia sedang terburu-buru. Mungkin akan mengantar seseorang yang sangat
tinggi kedudukannya, atau bisa jadi dia sedang sakit perut sehingga
ingin cepat-cepat pergi ke toilet. Sebab, setelah mendapatkan karcis dia
tetap melajukan mobilnya dengan kencang.
Setelah
mendrop teman saya di pintu keberangkatan, saya kembali menjalankan
mobil menuju pintu keluar. Kali ini tidak terjadi antrian yang terlalu
panjang karena ada empat pintu keluar parkir yang dibuka. Memang di
terminal 2 ini, jumlah pintu keluar mobil lebih banyak dari pada pintu
masuknya. Kalau saya tidak salah ada 5 pintu keluar, dan seperti yang
saya jelaskan sebelumnya, hanya ada 2 pintu masuknya.
Mobil-mobil
memilih pintu keluar sesuai dengan jalurnya masing-masing. Sayapun
dengan tenang berusaha memilih pintu keluar yang sesuai dengan jalur
mobil saya. Ada satu mobil saja di depan mobil saya menuju giliran saya
untuk sampai pada loket pengembalian karcis. Tetapi, tiba-tiba saja,
mobil sedan yang sama, yang memotong antrian ketika saya masuk ke
bandara, tiba-tiba sudah berada di samping saya. Dia kembali memotong
antrian untuk diberi kesempatan sampai di loket pengembalian karcis
lebih dahulu. Kali ini saya tidak lagi bisa berpikir positif. Saya
merasa kesal dan sedih. Bukan hanya karena dia memotong antrian saya
tetapi sedih pada atribut-atribut kedinasan yang digunakan oleh supir
tersebut. Yang paling jelas saya lihat adalah bahwa dia menggunakan
mobil dinas militer (Tentara Nasional Indonesia). Saya merasakan supir
tersebut sangatlah sombong. Atribut kedinasaannya digunakannya untuk
menunjukkan kekuasaan, kekuatan kepada rakyat biasa seperti saya. Dia
tidak perlu menghormati rakyat tetapi rakyatlah yang harus selalu
menghormatinya, memberi kemudahan baginya dalam segala urusannya. Rakyat
harus tunduk padanya, tanpa syarat. Dia dapat mengambil hak orang lain
tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang yang diambil haknya itu.
Mungkin
terlalu jauh analogi yang saya kemukakan. Bisa jadi saya dianggap
terlalu berlebihan dalam memberikan penilaian. Tetapi itulah yang saya
rasakan saat itu. Fakta yang saya alami pagi itu membuat saya merenung
bahwa masih cukup banyak orang yang belum menggunakan kekuasaannya untuk
memberikan sebanyak mungkin kemanfaatan atau kemaslahatan bagi orang
lainnya. Padahal kalau kita ingat hadits Rasulullah: “Barang siapa yang
melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangan
(kekuasaan) yang dimilikinya. Jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan
lisan (kata-kata)nya. Jika ia tetap tidak mampu maka hendaklah dia
mencegah dengan hatinya, meskipun itu adalah selemah-lemahnya iman”.
Jelas sekali dari Hadits Rasulullah tersebut, bahwa kekuasaan itu harus
digunakan untuk mencegah terjadinya kemungkaran.
Tentu
saja tidak semua pemilik kekuasaan menggunakan kekuasaannya untuk
kepentingan dirinya seperti apa yang telah saya jelaskan tadi. Ada juga
mereka yang dengan kekuasaannya menolong orang lain. Seperti yang sudah
saya sebutkan terkadang bapak marinir di Juanda menolong para supir
untuk mengambilkan tiket parkir dari mesin di pintu masuk area bandara.
Tetapi entah saya yang terlalu perasa, entah memang begitu kenyataannya,
hanya sedikit dari mereka yang memiliki kekuasaan yang pernah saya
jumpai bisa memahami bahwa kekuasaannya sebaiknya dipergunakan untuk
memberi kemaslahatan pada siapa saja. Tidak hanya untuk dirinya.
Bayangkan saja berapa besar kemanfaatan yang bisa diberikan oleh seorang
ayah ketika kekuasaannya di keluarga digunakannya untuk memerintahkan
anak-anaknya untuk berbuat kebaikan, melarang mereka untuk berbuat
kejahatan dan seterusnya.
Saya
berharap sekaligus berdo’a bahwa semua civitas akademika di universitas
kita yang kita cintai bersama ini, khususnya pada mahasiswa yang sedang
menimba ilmu, jika suatu hari mereka memiliki kekuasaan di bidang
apapun itu, maka mereka dapat menggunakan kekuasaan itu untuk berbagai
kemaslahatan. Mengutip salah satu definisi yang dikemukakan oleh Thomas M
Magstadt dalam bukunya “Understanding Politics: Ideas, Institutions, and Issues” (Belmont, 2009:5), kekuasaan adalah “the
ability of governments, and of governmental leaders, to make and
enforce rules and to influence the behavior of individuals or groups…”
kemampuan pemerintah-pemerintah atau pemimpin-pemimpin pemerintah untuk
membuat atau menetapkan peraturan-peraturan dan untuk mempengaruhi
sikap individu-individu atau kelompok-kelompok, tentu bisa dipahami
betapa besar peran para pemimpim, mereka yang memiliki kekuasaan untuk
menciptakan kebaikan, atau sebaliknya keburukan bagi lingkungannya, bagi
orang-orang yang dipimpinnya. Para pemimpin harus bisa menunjukkan
sikap yang baik, yang menghargai hak orang lain, yang menghormati hukum
yang dibuatnya, jika ingin orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya
juga bersikap baik. Dengan demikian, sikap yang ditunjukkan oleh bapak
anggota militer yang menggunakan mobil dinasnya, memotong jalur antrian
mobil yang sudah teratur dengan sesuka hatinya, tentulah tidak patut
untuk ditiru.
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/166/kekuasaan-untuk-kemaslahatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar