Wasid Mansyur
Akademik Pusat Ma’had Al-Jami’ah UINSA Surabaya
Drs.
Rijalul Faqih, Msi, selaku kabag akademik UIN Sunan Ampel dalam
sambutannya ketika pelaksanaan apel pagi pada hari kamis, mengatakan
bahwa salah satu alasan mengapa beberapa wali mahasiswa meng-kuliahkan
anaknya di UIN Sunan Ampel adalah agar kelak anaknya memiliki moralitas
luhur setelah lulus.
Pernyataan
salah satu wali mahasiswa itu disampaikan dalam forum pertemuan wali
mahasiswa di Audutorium UIN-SA baru-baru ini. Secara prinsip pernyataan
ini penting, apalagi diketahui bahwa yang memiliki harapan itu adalah
wali mahasiswa yang bekerja sebagai paramedis di salah-satu rumah sakit
terkenal di Surabaya. Sekalipun dia larut selama 20 tahun-an dalam dunia
kedokteran, tapi hasratnya pada pendidikan moral cukup besar berharap
kepada civitas UIN Sunan Ampel sebab moralitas ini –menurut keyakinnya--
kelak yang akan mengantarkan anaknya selamat, bukan hanya dunia dan
akhirat (salamatan fi al-dunya wa al-akhirat).
Pernyataan
wali mahasiswa ini, mengingatkan pada pendiri Pondok Pesantren Al-Falah
Ploso Mojo Kediri, yakni K.H.A. Djazuli Ustman yang dikenal dengan sang
Blawong. Dalam buku K.H. A. Djazuli Ustman; Sang Blawong Pewaris Keluhuran (2011)
disebutkan Bahwa Mas’ud, sebutan kecil K.H. A. Djazuli Ustman, adalah
dikenal memiliki kecerdasan di luar rata-rata bahkan bahasa Belanda
dikuasainya dengan baik, termasuk matematika, ilmu ukur dan lain-lain,
setelah lulus dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS) setingkat SLTA
(hal,15).
Tak
anyal, ayahnya Pak Ustman yang dikenal sebagai naib –kelas bangsawan
ketika itu-- berkeinginan besar mengantarkan Mas’ud menjadi dokter,
tidak seperti dirinya sebagai naib. Atas keinginan keras ini, Mas’ud
melanjutkan studi di Stovia (UI, sekarang) dalam jurusan kedokteran.
Namun, dalam waktu yang singkat, pak Ustman akhirnya harus rela
memanggil pulang Mas’ud dan harus dipondokkan, setelah mendapat anjuran
Kiai Ma’ruf Kedunglo, salah satu santri Kiai Kholil Bangkalan. Anjuran
Kiai Ma’ruf, yang dikenal memiliki ketajaman mata hati (baca: bashirah),
direspon oleh Pak Ustman dengan ikhlas tanpa sedikit penyesalan.
Setelah
perjalanan waktu, sulit dikira akhirnya prediksi batin Kiai Ma’ruf cukup
tepat, Mas’ud yang akhirnya dikenal dengan K.H. A. Djazuli Ustman
adalah pendiri dan pengasuh Al-Falah Mojo Kediri, yang saat ini pondok
ini terus mengalami perkembangan pesat dan menjadi jujukan santri-santri
dari berbagai daerah, dengan jumlah ribuan alumni yang menyebar ke
seantaro Indonesia.
Dua
cerita ini, secara substansi memiliki kesalamaan, sekalipun dalam cerita
yang berbeda. Di satu sisi, anak naib yang kelak akan diproyeksikan
menjadi dokter ternyata harus dipondokkan. Di sisi yang berbeda anak
paramedis yang menginginkan kelak anaknya memiliki moralitas luhur dalam
kehidupannya, sekalipun tidak harus menjadi dokter. Substansi yang
dimaksud adalah, sama-sama memahami bahwa moralitas luhur adalah
segala-galanya di atas kemampuan intelektual.
Konteks Kampus
Bertolok
dari dua cerita ini, sebagai insan kampus keharusan civitas UIN-SA
berfikir serius pada pengawalan moralitas luhur mahasiswa UIN-SA adalah
kebutuhan yang sulit ditawar-tawar, di samping serius meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam menguasai disiplin keilmuannya sesuai dengan
jurusannya masing-masing. Semangat ini sebenarnya telah tersirat dari
slogan “Building Character Qualities; for the Smart, Pious, Honorable Nation”, yang terpampang di berbagai media kampus.
Alasan
mengapa moralitas luhur itu penting sebab generasi saat ini adalah calon
pemimpin di era kedepan. Kondisi kebangsaan kita yang masih mudah
goyang, baik dilihat dari sisi ekonomi maupun politik ke depan
membutuhkan individu-individu yang tangguh dalam berbagai bidang,
setidaknya muncul dari para alumni UIN-SA.
Ketangguhan
itu dibarengi dengan moralitas luhur sebagai karakter diri, yakni
moralitas yang mampu tidak hanya berpikir untuk diri sendiri tapi juga
untuk orang lain sebagai sarana pengabdian kepada sang Khaliq, Allah
Swt. pasalnya, moralitas luhur sejatinya adalah manifestasi dari upaya
membumikan nilai-nilai ketuhanan (tajalli wa ardiyatu-l-rububiyyah).
Ketika
semangat integrasi keilmuan diteriakkan oleh kampus ini --semenjak
menjadi UIN-SA-- semakin nyaring, maka menjadikan moralitas luhur masuk
dalam materi-materi kemahasiswaan, khususnya mahasiswa yang jurusan
umum, menjadi niscaya. Sekalipun belajar teori-teori politik, misalnya
dari teori Barat sekalipun, perlu disusupi pikiran bagaimana perlunya
membangun politik kemaslahatan dan kebangsaan. Tidak seperti sekarang
ini, kita masih menyaksikan politik masih terjebak pada semangat
prosedural, dari pada substansi.
Bekal
moralitas luhur ini kelak yang akan membentengi mahasiswa, ketika kelak
lulus dari UIN-SA baik aktif sebagai akademiki, politisi, dokter,
psikolog dan seterusnya. Munculnya, politisi atau dokter yang bermoral
luhur, misalnya kelak akan mengangkat citra kampus ini benar-benar
menjadi persemaian bagi terciptanya kader bangsa yang memiiliki
integritas dan keperibadian.
Inilah
secuil pikiran tentang pentingnya moralitas luhur dalam kampus. Sebagai
manusia yang beragama kita diajarkan untuk percaya pada sesuatu yang
non-materi (baca: ghaib), tidak seperti kepercayaan
materialistik-positivistik. Semangat ini harus kita pupuk bersama baik
dosen, karyawan hingga mahasiswa, yang riilnya secara akademik bahwa
basis keilmuan secara aksiologis tidak melulu berpikir materi, tapi
harus juga berpikir non-materi kaitannya karakter tentang kejujuran,
keikhlasan dan pengabdian, yang merupakan wujud dari komitmen aman-tu bi-l-lahi wa rasulihi wa yawmi-al-akhiri…. Semoga.
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/11/mengapa-perlu-moralitas-luhur-di-kampus-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar