Masdar Hilmy , Wakil Direktur Pascasarjana UINSA Sunan Ampel Surabaya
Dugaan
pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
oleh seorang petinggi politik kita dalam kasus kontrak karya Freeport
dapat menggerus kualitas politik-demokrasi dari dalam. Penggerusan
semacam ini, dalam banyak hal, memberikan ancaman lebih besar ketimbang
penggerusan dari luar oleh musuh-musuh eksternal demokrasi. Penggerusan
tersebut mencerminkan defisit etika politik yang berpijak pada tata
pemerintahan yang baik dan bersih.
Francis
Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014)
mengatribusikan sikap institusi dan atau individu yang berantitesis
terhadap kualitas politik-demokrasi modern sebagai "pembusukan politik".
Salah satu sumber pembusukan tersebut berasal dari ketidakmampuan
sebuah institusi dan atau individu-individu di dalamnya untuk merespons
dan beradaptasi dengan tuntutan baru berdasarkan pada paradigma, pola
pikir atau prinsip-prinsip etika politik yang baru pula.
Cengkeraman elite
Dalam
hal terjadinya pembusukan dari dalam, institusi kenegaraan modern yang
seharusnya bersifat impersonal akan rawan jatuh dalam cengkeraman elite
dalam sebuah proses yang oleh Fukuyama disebut sebagai
"reptarimonialisasi". Demokrasi modern secara teoretik seharusnya mampu
mengatasi persoalan cengkeraman elite melalui penerapan prinsip
pemerintahan yang akuntabel, baik, dan bersih. Demokrasi semestinya
melakukan distribusi public good kepada seluruh warga negara melalui
perangkat kelembagaan yang ada.
Sekalipun
demokrasi memiliki mekanisme pengawasan terhadap perilaku elite, ia
sering kali gagal menjalankan peran pengawasan sebagaimana dikehendaki.
Hal ini karena para elite biasanya memiliki akses terhadap sumber daya
(ekonomi-politik) dan informasi yang mereka gunakan untuk melindungi
kepentingan diri mereka sendiri. Publik tentu tidak akan marah terhadap
perilaku elite yang dengan seenaknya melakukan penyalahgunaan wewenang
jika mereka tidak tahu. Tetapi, publik akan menumpahkan kekesalan mereka
melalui mekanisme politik-demokrasi yang ada ketika mereka mengetahui
ulah "tak senonoh" elite politik kita.
Tindakan
mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden oleh siapa pun, barangkali
dapat ditoleransi sepanjang ada rasionalitas publik yang kuat, adekuat,
serta darurat. Namun, jika pencatutan nama keduanya dilakukan atas
motif-motif yang berlawanan dengan public good, tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Grant
dan Keohane (2005) dalam artikel mereka, "Accountability and Abuses of
Power in World Politics" menegaskan bahwa penyalahgunaan wewenang
terjadi ketika "public officials act against the interests of the
public". Yakni, ketika elite politik bertindak secara berlawanan dengan
kepentingan publik.
Namun
demikian, betapa pun seorang elite politik memiliki rasionalitas publik
yang kuat untuk mencatut nama-nama elite politik tertentu, bukan
berarti hal demikian dapat diterima dalam praktik politik modern. Elite
politik yang telah menyalahgunakan wewenang dapat dipastikan mengalami
defisit etika dalam berpolitik. Etika politik dalam konteks ini merujuk
pada prinsip-prinsip moral yang menjadi tiang penyangga tegaknya
nilai-nilai dan praktik politik yang berpijak pada tata pemerintahan
yang baik dan bersih.
Oleh
karena itu, terminologi politik modern harus mengakomodasi kosakata
baru terkait dengan praktik politik yang dianggap tabu: pantang
menyalahgunakan wewenang demi alasan apa pun, termasuk mencatut
nama-nama tertentu dan atau berbohong untuk motif dan tujuan yang
apublik. Beruntunglah kita memiliki mekanisme demokrasi yang mampu
melakukan koreksi, komplain, dan checks and balances terhadap
praktik-praktik politik yang tak terpuji. Ke depan, untuk mengakhiri
kegaduhan publik, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR harus bertindak
cepat dengan menghukum ulah sebagian elitenya yang tidak etis.
"Tripod" etika politik
Guna
mencegah pembusukan etika politik, Fukuyama menyarankan diperkuatnya
sistem politik modern yang diilustrasikan sebagai "tripod" yang
tiap-tiap elemennya saling menopang; negara modern, penegakan hukum, dan
akuntabilitas demokratik (h. 550). Sebagai sebuah segitiga sama kaki,
tripod tersebut harus berdiri secara seimbang agar dapat memastikan
terjaminnya etika politik yang sehat, terbuka, dan berkeadilan. Agar
"tripod" tersebut berdiri secara seimbang, rasionalitas publik harus
menjadi referensi utama bagi tindakan elite politik.
Negara
modern dibutuhkan untuk mengakumulasikan dan mendistribusikan
kekuasaan, di lain pihak penegakan hukum dan akuntabilitas publik
diperlukan untuk membatasi dan menyalurkan kekuasaan itu sendiri.
Sebagai sebuah institusi, Indonesia barangkali telah memiliki
persyaratan sebagai negara modern, terutama seiring dengan semakin
lengkapnya perangkat kenegaraan yang ada. Namun demikian, kita harus
jujur mengakui bahwa Indonesia masih mengalami persoalan serius di dua
aspek lainnya; penegakan hukum dan akuntabilitas publik.
Jika
"tripod" berdiri secara tidak berimbang, maka sebuah negara dapat
terjatuh pada kediktatoran atau bahkan negara gagal. Masih menurut
Fukuyama, pemerintahan patrimonial atau neopatrimonial yang dianut oleh
banyak negara berkembang menjadi penyebab utama keterbelakangan dan
kemiskinan. Melepaskan diri dari jeratan politik-demokrasi patrimonial
atau neopatrimonial menuju negara demokrasi modern jauh lebih sulit
ketimbang transisi politik dari rezim otoritarianisme ke rezim
demokrasi.
Fukuyama
bahkan secara khusus menyoroti kondisi politik Indonesia-bersama
Brasil, Meksiko, dan India-sebagai negara yang kompetitif secara
demokrasi, tetapi mengalami problem korupsi akut dan penyumbatan
distribusi service delivery secara adil dan merata (h. 551). Dalam
konteks ini, pembangunan infrastruktur kereta api di luar Jawa oleh
pemerintahan Jokowi dapat dimaknai sebagai upaya mengurai persoalan
terakhir di atas. Sayangnya, kerja keras pemerintah seakan "dinodai"
oleh ulah tidak etis elite lainnya untuk tujuan-tujuan yang belum
diketahui manfaatnya bagi publik.
Oleh
karena itu, perilaku elite yang mengabaikan etika politik harus menjadi
catatan bersama agar tidak menular kepada elite lainnya. Arbitrase
etika politik yang berpijak pada prinsip tata pemerintahan yang
akuntabel, baik, dan bersih, harus segera ditegakkan agar penggerusan
dari dalam tidak terulang lagi. Penegakan etika politik akan menjadi
pintu masuk bagi terurainya berbagai bentuk penyimpangan politik yang
dapat berujung pada pembusukan etika politik di negeri ini. Sebab jika
ulah tidak etis para elite dibiarkan, jangan harap keadilan dan
kesejahteraan distributif dapat benar-benar membumi di negeri ini.
Artikel ini telah dimuat di Opini Harian KOMPAS pada 05 Desember 2015
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/147/pembusukan-etika-politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar