enjoy reek yaaaa....

Senin, 20 Juni 2016

Menuju Ekonomi yang Berkeadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat


oleh : Fahrur Ulum, MEI.

Isu ekonomi tahun depan (2017) masih berputar pada persoalan pertumbuhan, pajak dan pembangunan infrastruktur. Pertumbuhan dijadikan indikator kesejahteraan dan solusi bagi setiap krisis ekonomi. Maka tidak mengherankan jika fraksi-fraksi di DPR sibuk memperbincangkan pertumbuhan ekonomi kita pada kisaran 5,3 hingga 5,9 persen pada tahun 2017 (Republika.co.id, 26 Mei 2016).
Pertumbuhan ini biasanya dilihat pada dua dimensi besar yaitu titik tekan pertumbuhan dan pengukuran pertumbuhan. Logika yang dibangun dari titik tekan pertumbuhan adalah asumsi bahwa “more is better”. Sedangkan pengukuran pertumbuhan adalah per capita GNP. Jika per capita income yang didapatkan dari total real GNP yang dibagi dengan jumlah penduduk itu tinggi, maka pertumbuhan ekonomi tinggi dan disinyalir kesejahteraan juga tinggi. Benarkah demikian?
Pertumbuhan versus Pemerataan Kesejahteraan
Dua dimensi pertumbuhan tersebut jelas memiliki kekurangan karena belum tentu lebih banyak itu lebih baik. Bisa saja banyak itu tidak menjadikan lebih baik ketika yang banyak itu tidak menambah kebaikan bagi individu maupun komunitas. Misalnya yang banyak itu adalah barang-barang yang akan merusak moral seperti minuman keras, jasa prostitusi dan sebagainya. Selanjutnya penghitungan per capita GNP juga seringkali menipu, karena bisa jadi pertumbuhan ekonomi itu ditopang oleh sekelompok kecil bagian masyarakat.
Selanjutnya  tidak diperhatikan pula apakah pertumbuhan ekonomi itu betul-betul nyata sebagai buah dari kegiatan ekonomi riil seperti pengerjaan proyek pembangunan dan jual-beli barang dan jasa, ataukah berasal dari sektor non-riil dan keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana dan lainnya yang cenderung menghasilkan pertumbuhan semu.
Semestinya sektor finansial tidak dimasukkan dalam perhitungan pertumbuhan. Pertumbuhan diakibatkan hanya dari sektor kegiatan ekonomi yang nyata dengan memastikan bahwa uang terus beredar sebagai alat tukar. Uang tidak boleh dijadikan komoditas dengan ditarik bunganya. Uang dilarang sebagai alat judi dan spekulasi, hingga membuat uang hanya bertemu dengan uang, bukan dengan barang dan jasa. Jika demikian, maka pertumbuhan ini nyata dan bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat secara riil. Pertumbuhan alami akan terjadi seiring dengan bertambahnya aktifitas ekonomi secara riil dan seiring dengan perkembangan teknologi untuk menghasilkan barang-barang produksi maupun jasa.
Jadi sebenarnya pertumbuhan ekonomi bukan persoalan utama dalam sistem ekonomi karena sifatnya yang alamiah. Namun persoalan ekonomi terletak pada upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Menciptakan Kesejahteraan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Choudhury  (1988) mengusulkan bahwa ekonomi harus didasarkan atas prinsip; tauhid, brotherhood, work and productivity, distributive equity, cooperation, organization/islamic institution. Perekonomian dalam konteks ini menekankan pada distribusi yang didukung oleh peran pemerintah agar tercipta pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Syed Haider Naqvi (1985) mengusulkan prinsip al-adl wa al-ih}san, yaitu etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi. Selanjutnya perlu egalitarianisme dan negara tidak hanya berperan sebagai regulator kekuatan pasar dan penyedia kebutuhan dasar, tetapi juga partisipan aktif dalam produksi dan distribusi.
Penciptaan kesejahteraan dan keadilan sosial bisa dilakukan dengan penekanan pada distribusi kekayaan di masyarakat. Mekanisme distribusi kekayaan ini tentu saja tidak bisa berdiri sendiri, namun terkait dengan konsep yang lain yaitu konsep kepemilikan. Oleh karena untuk menciptakan  kesejahteraan dan keadilan sosial harus diurai dari persoalan besar dalam sistem ekonomi, meliputi konsep kepemilikan dan pengelolaannya serta distribusi kekayaan di masyarakat.
Pengelolaan kepemilikan harus diikat dengan berbagai hukum yang menyangkut masalah pertanian, jual beli dan aktifitas produksi. Dalam masalah pertanian, misalnya, seseorang harus senantiasa terikat dengan pemanfaatan lahan pertaniannya. Jika lahan tersebut dibiarkan kosong selama tiga tahun, maka ia sudah tidak berhak lagi atas tanah tersebut sesuai dengan pendapat Umar ibn al-Khaththab yang didiamkan oleh sahabat-sahabat yang lain sehingga menjadi ijma’ sahabat. Umar r.a. menyampaikan;
Bagi orang yang membiarkan tanahnya, maka tidak ada hak baginya setelah dibiarkan selama tiga tahun.”
            Kebijakan ini dengan sendirinya akan menghindari munculnya sistem zamindari atau feodalisme yang akan merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, mubadzir dan merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu ekonomi Islam menawarkan pengelolaan lahan pertanian dengan cara-cara kerjasama seperti muzara’ah dan musaqat.
Pada persoalan jual beli, seseorang harus menempatkan etika bisnis dengan baik dan menghindari riba. Seorang penjual dan pembeli harus sama-sama ridha. Seorang penjual tidak boleh menyembunyikan cacat, berbuat curang dan melakukan penimbunan. Sedangkan pada persoalan produksi, biasanya seseorang berhadapan dengan faktor produksi yaitu alam ( tanah), tenaga,  modal dan skill. Oleh karena itu seseorang akan senantiasa berhubungan dengan pihak lain, sehingga ia harus terikat dengan berbagai peraturan seperti syari’at shirkah, ijārah dan jual beli.
Selain pembatasan pengelolaan dan pengembangan kepemilikan melalui hukum-hukum syara’, juga dibatasi pula dengan menempatkan manusia sebagai makhluk sosial sehingga harus memperhatikan dan mensupply orang-orang yang mempunyai keterbatasan faktor produksi sehingga tercipta keharmonisan di masyarakat, yaitu diatur dengan hukum-hukum zakat, infaq, s}adaqah dan sebagainya. Selain pengelolaan kepemilikan individu, harta benda yang terkategori kepemilikan umum juga harus dikelola dengan baik. Harta milik umum yang pemanfaatannya mudah,  maka siapa saja dapat memanfaatkannya secara langsung, misalnya memanfatkan sumur, mata air dan sungai yang mengalir, mengambil airnya dan dialirkan untuk (keperluan) hewan serta ternak-ternaknya. Sedangkan harta milik umum yang tidak mudah memanfaatkannya secara langsung, seperti minyak bumi, gas dan barang-barang tambang, maka negara mengambil alih penguasaan eksploitasinya. Negara mewakili rakyat dan mendistribusikannya demi kemaslahatan seluruh warga negara.
Lebih jauh, harus dilarang dengan tegas, diantaranya; perjudian, riba, penipuan ( al-ghabn ), menyembunyikan cacat ( tadlis), penimbunan    ( al-kanzu), dan pematokan harga ( tas’ir). Dengan ditetapkannya pengelolaan kepemilikan yang dilarang tersebut, maka akan menghindari perselisihan di masyarakat, menghindari penumpukan kekayaan pada orang-orang tertentu serta menghindari eksploitasi sesama manusia.
Selanjutnya distribusi ekonomi di masyarakat dapat dilakukan dengan mekanisme pasar dan non pasar. Mekanisme pasar pun dibatasi dengan larangan praktik penimbunan barang (al-ihtikâr), pematokan harga (al-tash’îr), penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs),  penipuan pada harga (al-ghabn al-fâh}isy),
Kendati telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang tersingkir dari mekanisme pasar, seperti cacat fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena itulah harus disediakan mekanisme  kedua, yaitu mekanisme nonpasar diantaranya adalah zakat, infak dan sedekah, hibah, hadiah, dan wasiat, termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa melakukan iqthâ’. Dengan adanya dua mekanisme tersebut, maka dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap warga Negara dan sekaligus menciptakan pemerataan ekonomi. Negara berperan besar dalam distribusi kekayaan agar berjalan baik dan rakyat terpenuhi kebutuhan pokok (al-h}ajat al-asasiyah), baik kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan perumahan), maupun kebutuhan dasar masyarakat (keamanan, kesehatan dan pendidikan) secara murah dan berkualitas.
Wallahu a’lam

artikel ini dikutip dari : http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/176/menuju-ekonomi-yang-berkeadilan-sosial-bagi-seluruh-rakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar