oleh : Fahrur Ulum, MEI.
Isu ekonomi tahun depan (2017)
masih berputar pada persoalan pertumbuhan, pajak dan pembangunan
infrastruktur. Pertumbuhan dijadikan indikator kesejahteraan dan solusi
bagi setiap krisis ekonomi. Maka tidak mengherankan jika fraksi-fraksi
di DPR sibuk memperbincangkan pertumbuhan ekonomi kita pada kisaran 5,3
hingga 5,9 persen pada tahun 2017 (Republika.co.id, 26 Mei 2016).
Pertumbuhan ini biasanya dilihat pada
dua dimensi besar yaitu titik tekan pertumbuhan dan pengukuran
pertumbuhan. Logika yang dibangun dari titik tekan pertumbuhan adalah
asumsi bahwa “more is better”. Sedangkan pengukuran pertumbuhan adalah per capita GNP. Jika per capita income yang didapatkan dari total real GNP
yang dibagi dengan jumlah penduduk itu tinggi, maka pertumbuhan ekonomi
tinggi dan disinyalir kesejahteraan juga tinggi. Benarkah demikian?
Pertumbuhan versus Pemerataan Kesejahteraan
Dua dimensi pertumbuhan tersebut jelas
memiliki kekurangan karena belum tentu lebih banyak itu lebih baik. Bisa
saja banyak itu tidak menjadikan lebih baik ketika yang banyak itu
tidak menambah kebaikan bagi individu maupun komunitas. Misalnya yang
banyak itu adalah barang-barang yang akan merusak moral seperti minuman
keras, jasa prostitusi dan sebagainya. Selanjutnya penghitungan per capita GNP juga seringkali menipu, karena bisa jadi pertumbuhan ekonomi itu ditopang oleh sekelompok kecil bagian masyarakat.
Selanjutnya tidak diperhatikan pula
apakah pertumbuhan ekonomi itu betul-betul nyata sebagai buah dari
kegiatan ekonomi riil seperti pengerjaan proyek pembangunan dan
jual-beli barang dan jasa, ataukah berasal dari sektor non-riil dan
keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana dan lainnya
yang cenderung menghasilkan pertumbuhan semu.
Semestinya sektor finansial tidak
dimasukkan dalam perhitungan pertumbuhan. Pertumbuhan diakibatkan hanya
dari sektor kegiatan ekonomi yang nyata dengan memastikan bahwa uang
terus beredar sebagai alat tukar. Uang tidak boleh dijadikan komoditas
dengan ditarik bunganya. Uang dilarang sebagai alat judi dan spekulasi,
hingga membuat uang hanya bertemu dengan uang, bukan dengan barang dan
jasa. Jika demikian, maka pertumbuhan ini nyata dan bisa dirasakan oleh
seluruh lapisan masyarakat secara riil. Pertumbuhan alami akan terjadi
seiring dengan bertambahnya aktifitas ekonomi secara riil dan seiring
dengan perkembangan teknologi untuk menghasilkan barang-barang produksi
maupun jasa.
Jadi sebenarnya pertumbuhan ekonomi
bukan persoalan utama dalam sistem ekonomi karena sifatnya yang alamiah.
Namun persoalan ekonomi terletak pada upaya menciptakan kesejahteraan
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Menciptakan Kesejahteraan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Choudhury (1988) mengusulkan bahwa ekonomi harus didasarkan atas prinsip; tauhid, brotherhood, work and productivity, distributive equity, cooperation, organization/islamic institution.
Perekonomian dalam konteks ini menekankan pada distribusi yang didukung
oleh peran pemerintah agar tercipta pemerataan kesejahteraan dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Syed Haider Naqvi (1985)
mengusulkan prinsip al-adl wa al-ih}san,
yaitu etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi. Selanjutnya
perlu egalitarianisme dan negara tidak hanya berperan sebagai regulator
kekuatan pasar dan penyedia kebutuhan dasar, tetapi juga partisipan
aktif dalam produksi dan distribusi.
Penciptaan kesejahteraan dan keadilan
sosial bisa dilakukan dengan penekanan pada distribusi kekayaan di
masyarakat. Mekanisme distribusi kekayaan ini tentu saja tidak bisa
berdiri sendiri, namun terkait dengan konsep yang lain yaitu konsep
kepemilikan. Oleh karena untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan
sosial harus diurai dari persoalan besar dalam sistem ekonomi, meliputi
konsep kepemilikan dan pengelolaannya serta distribusi kekayaan di
masyarakat.
Pengelolaan kepemilikan harus diikat
dengan berbagai hukum yang menyangkut masalah pertanian, jual beli dan
aktifitas produksi. Dalam masalah pertanian, misalnya, seseorang harus
senantiasa terikat dengan pemanfaatan lahan pertaniannya. Jika lahan
tersebut dibiarkan kosong selama tiga tahun, maka ia sudah tidak berhak
lagi atas tanah tersebut sesuai dengan pendapat Umar ibn al-Khaththab
yang didiamkan oleh sahabat-sahabat yang lain sehingga menjadi ijma’
sahabat. Umar r.a. menyampaikan;
“Bagi orang yang membiarkan tanahnya, maka tidak ada hak baginya setelah dibiarkan selama tiga tahun.”
Kebijakan ini dengan sendirinya akan menghindari munculnya sistem zamindari
atau feodalisme yang akan merintangi pemanfaatan tanah yang tepat,
mubadzir dan merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh
karena itu ekonomi Islam menawarkan pengelolaan lahan pertanian dengan
cara-cara kerjasama seperti muzara’ah dan musaqat.
Pada persoalan jual beli, seseorang
harus menempatkan etika bisnis dengan baik dan menghindari riba. Seorang
penjual dan pembeli harus sama-sama ridha. Seorang penjual tidak boleh
menyembunyikan cacat, berbuat curang dan melakukan penimbunan. Sedangkan
pada persoalan produksi, biasanya seseorang berhadapan dengan faktor
produksi yaitu alam ( tanah), tenaga, modal dan skill. Oleh
karena itu seseorang akan senantiasa berhubungan dengan pihak lain,
sehingga ia harus terikat dengan berbagai peraturan seperti syari’at shirkah, ijārah dan jual beli.
Selain pembatasan pengelolaan dan
pengembangan kepemilikan melalui hukum-hukum syara’, juga dibatasi pula
dengan menempatkan manusia sebagai makhluk sosial sehingga harus
memperhatikan dan mensupply orang-orang yang mempunyai
keterbatasan faktor produksi sehingga tercipta keharmonisan di
masyarakat, yaitu diatur dengan hukum-hukum zakat, infaq, s}adaqah
dan sebagainya. Selain pengelolaan kepemilikan individu, harta benda
yang terkategori kepemilikan umum juga harus dikelola dengan baik. Harta
milik umum yang pemanfaatannya mudah, maka siapa saja dapat
memanfaatkannya secara langsung, misalnya memanfatkan sumur, mata air
dan sungai yang mengalir, mengambil airnya dan dialirkan untuk
(keperluan) hewan serta ternak-ternaknya. Sedangkan harta milik umum
yang tidak mudah memanfaatkannya secara langsung, seperti minyak bumi,
gas dan barang-barang tambang, maka negara mengambil alih penguasaan
eksploitasinya. Negara mewakili rakyat dan mendistribusikannya demi
kemaslahatan seluruh warga negara.
Lebih jauh, harus dilarang dengan tegas, diantaranya; perjudian, riba, penipuan ( al-ghabn ), menyembunyikan cacat ( tadlis), penimbunan ( al-kanzu), dan pematokan harga ( tas’ir).
Dengan ditetapkannya pengelolaan kepemilikan yang dilarang tersebut,
maka akan menghindari perselisihan di masyarakat, menghindari penumpukan
kekayaan pada orang-orang tertentu serta menghindari eksploitasi sesama
manusia.
Selanjutnya distribusi ekonomi di
masyarakat dapat dilakukan dengan mekanisme pasar dan non pasar.
Mekanisme pasar pun dibatasi dengan larangan praktik penimbunan barang (al-ihtikâr), pematokan harga (al-tash’îr), penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs), penipuan pada harga (al-ghabn al-fâh}isy),
Kendati telah tercipta pasar yang
bersih, tetap saja ada orang-orang yang tersingkir dari mekanisme pasar,
seperti cacat fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang
kurang, modal yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. Karena
itulah harus disediakan mekanisme kedua, yaitu mekanisme nonpasar
diantaranya adalah zakat, infak dan sedekah, hibah, hadiah, dan wasiat,
termasuk pula pembagian harta waris. Negara juga bisa melakukan iqthâ’.
Dengan adanya dua mekanisme tersebut, maka dapat menjamin terpenuhinya
kebutuhan primer setiap warga Negara dan sekaligus menciptakan
pemerataan ekonomi. Negara berperan besar dalam distribusi kekayaan agar
berjalan baik dan rakyat terpenuhi kebutuhan pokok (al-h}ajat al-asasiyah),
baik kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan perumahan), maupun
kebutuhan dasar masyarakat (keamanan, kesehatan dan pendidikan) secara
murah dan berkualitas.
Wallahu a’lam
artikel ini dikutip dari : http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/176/menuju-ekonomi-yang-berkeadilan-sosial-bagi-seluruh-rakyat
artikel ini dikutip dari : http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/176/menuju-ekonomi-yang-berkeadilan-sosial-bagi-seluruh-rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar