Oleh : Prof Abd A’la, M.Ag, Rektor UINSA Surabaya
dikutip dari: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/152/pembusukan-moral-signifikansi-maulid-nabi
Sepak terjang beberapa elite pejabat Indonesia akhir-akhir ini yang
sarat dengan hilangnya marwah diri dan sifat wira'i memperlihatkan
kepemimpinan bangsa dan negara saat ini benar-benar dalam krisis. Mereka
sejatinya tidak layak menyandang dan disebut sebagai pemimpin. Apa yang
mereka pertontonkan sangat jauh dari nilai dan jiwa kepemimpinan yang
sejatinya harus memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Alih-alih dengan berdalih kepentingan rakyat atau sebagai wakil rakyat,
mereka justru merampas hak-hak rakyat, baik secara kiasan maupun hakiki.
Mereka menduduki jabatan sekadar sebagai kamuflase untuk menutupi
kepentingan diri yang sangat pragmatis dan sempit.
Mereka nyaris seutuhnya melempar etik-moralitas luhur dari diri
mereka. Kendati dipastikan beragama dan mungkin taat menjalankan ritual
agama, mereka tampaknya menjadikan agama tak lebih dari aksesori semata.
Mereka memperalat agama untuk memoles kedirian mereka; menutupi
bercak-bercak noda yang amoral yang lekat pada mereka.
Di sini urgensi mengembalikan agama pada misi perennial-nya yang
asasi. Agama perlu dihadirkan untuk mendewasakan manusia dalam segala
aspek kehidupan yang modal, substansi, implementasi, dan penampakannya
bersifat moral.
Kalau bangsa ini, terutama umat Islam, meyakini bahwa agama memiliki
peran penting dalam kehidupan umat manusia, inilah saatnya-kendati sudah
terlambat-untuk melakukan hal itu. Jika tidak, lalu untuk apa kita
beragama. Kelahiran Rasulullah Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiulawal,
yang tahun ini bertepatan dengan 24 Desember 2015, niscaya diletakkan
dalam posisi seperti itu.
Membaca kehidupan Rasulullah
Rasulullah Muhammad diutus semata-mata untuk membumikan dan
menyebarluaskan etik-moralitas luhur. Melalui nilai itu, Rasulullah
dengan agama Islam yang dibawanya memiliki misi sebagai rahmat bagi
sekalian alam.
Sejarah memperlihatkan, seluruh kehidupan-pandangan, sikap, dan
perilaku-Nabi merepresentasikan nilai-nilai itu. Rasulullah dilahirkan
dalam kepapaan. Ayah pun sudah mendahuluinya menemui Sang Pencipta
sebelum ia lahir. Tak lama kemudian sang Ibu menyusul si suami. Untuk
sekadar mempertahankan hidup, Nabi dalam usia sangat belia harus
berjuang keras dengan menjadi pedagang. Modal yang ia miliki "hanyalah"
kejujuran dan ketulusan. Ia hanya memiliki al-akhlak al-karimah,
moralitas luhur.
Saat diangkat sebagai Rasul dan kemudian menjadi pemimpin negara kota
Madinah, Nabi Muhammad menjalani kehidupan tanpa perubahan sikap
sedikit pun. Ia, misalnya, tetap hidup dengan penuh kesederhanaan.
Rasulullah sama sekali tidak silau dengan jabatan. Kejujuran, ketulusan,
dan nilai-nilai luhur sejenis tetap dipegang teguh sepanjang hidupnya.
Ia tidak pernah sekali pun menggunakan aji mumpung. Semua jabatan
disikapi sebagai amanah sehingga Nabi tidak memosisikan diri sebagai
pejabat. Ia menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Maka ia
biasa berbaur duduk bersama masyarakat. Sebagai pemimpin, Nabi hadir
untuk melayani, bukan untuk dilayani, apalagi minta dimanja. Kisah
ketelatenanRasul memberikan makan setiap hari seorang Yahudi buta
memperlihatkan senyatanya keberadaan Nabi sebagai representasi
nilai-nilai etik-moralitas luhur.
Maka kita tidak perlu heran, ketika Nabi wafat, ia nyaris tidak
meninggalkan warisan harta benda apa pun, apalagi jabatan, kepada anak
istri dan keluarga. Satu-satunya warisan Nabi adalah sumber nilai yang
tertuang dalam Al Quran dan Sunah Rasul. Itu pun bukan hanya untuk sanak
keluarga, melainkan untuk umat Islam, bahkan seluruh umat manusia yang
mau menjadikannya sebagai sumber rujukan hidup.
Kontekstualisasi
Kehidupan Rasulullah yang penuh dengan keluhuran itu senyatanya perlu
dihadirkan dalam kekinian, khususnya di Indonesia. Peringatan Maulid
Nabi yang baru dilaksanakan tidak bisa lagi sekadar bersifat seremonial
tanpa memiliki dampak konkret dalam kehidupan.
Acara ini -khususnya saat Indonesia mengalami krisis kepemimpinan
saat ini- harus dikembangkan menjadi kegiatan yang transformatif.
Peringatan Maulid Nabi perlu dilanjutkan dengan upaya internalisasi
nilai-nilai luhur ke dalam diri setiap Muslim dan dalam segala dimensi
kehidupan.
Melalui peringatan Maulid, umat Islam, atau siapa pun yang merayakan,
harus mampu berdialog dengan Nabi dan menyelami keagungan kehidupannya.
Pada saat yang sama, umat Islam dituntut untuk membuat perjanjian
dengan Rasul. Ia senyatanya berkomitmen untuk meneladani Rasulullah
dalam mengimplementasikan dan menyebarkan etik-moralitas luhur dalam
kehidupan.
Sejalan dengan itu, peringatan Maulid tidak bisa dipahami dan
disikapi secara parsial. Peringatan keagamaan ini tidak bisa lagi
dipisahkan dengan kegiatan keagamaan lain. Kegiatan ini harus menyatu
dengan kegiatan yang lain. Peringatan ini perlu dikaitkan dengan
pendidikan agama, bahkan dengan kehidupan itu sendiri.
Strategi holistik ini diharapkan dapat menumbuhkan dan menjadikan
etik-moralitas luhur sebagai bagian intrinsik dari umat Islam. Dengan
demikian, keberagamaan bukan lagi pengedepanan simbol semata, melainkan
lebih pada praksis yang dapat mewujudkan kehidupan yang lebih bermoral.
Kegiatan agama-agama lain, seperti Natal, yang tahun ini berdempetan,
sangat layak diposisikan seperti itu. Melalui peringatan keagamaan
dengan strategi ini, kehadiran agama diharapkan akan lebih bermakna
bukan hanya bagi penganut agama masing-masing, melainkan juga bagi umat
manusia secara keseluruhan.
Artikel ini sudah dimuat di Harian KOMPAS, 26 Desember 2015.dikutip dari: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/152/pembusukan-moral-signifikansi-maulid-nabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar