enjoy reek yaaaa....

Senin, 20 Juni 2016

Pembusukan Moral & Signifikansi Maulid Nabi

Oleh : Prof Abd A’la, M.Ag, Rektor UINSA Surabaya


Sepak terjang beberapa elite pejabat Indonesia akhir-akhir ini yang sarat dengan hilangnya marwah diri dan sifat wira'i memperlihatkan kepemimpinan bangsa dan negara saat ini benar-benar dalam krisis. Mereka sejatinya tidak layak menyandang dan disebut sebagai pemimpin. Apa yang mereka pertontonkan sangat jauh dari nilai dan jiwa kepemimpinan yang sejatinya harus memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Alih-alih dengan berdalih kepentingan rakyat atau sebagai wakil rakyat, mereka justru merampas hak-hak rakyat, baik secara kiasan maupun hakiki. Mereka menduduki jabatan sekadar sebagai kamuflase untuk menutupi kepentingan diri yang sangat pragmatis dan sempit.
Mereka nyaris seutuhnya melempar etik-moralitas luhur dari diri mereka. Kendati dipastikan beragama dan mungkin taat menjalankan ritual agama, mereka tampaknya menjadikan agama tak lebih dari aksesori semata. Mereka memperalat agama untuk memoles kedirian mereka; menutupi bercak-bercak noda yang amoral yang lekat pada mereka.
Di sini urgensi mengembalikan agama pada misi perennial-nya yang asasi. Agama perlu dihadirkan untuk mendewasakan manusia dalam segala aspek kehidupan yang modal, substansi, implementasi, dan penampakannya bersifat moral.
Kalau bangsa ini, terutama umat Islam, meyakini bahwa agama memiliki peran penting dalam kehidupan umat manusia, inilah saatnya-kendati sudah terlambat-untuk melakukan hal itu. Jika tidak, lalu untuk apa kita beragama. Kelahiran Rasulullah Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiulawal, yang tahun ini bertepatan dengan 24 Desember 2015, niscaya diletakkan dalam posisi seperti itu.
Membaca kehidupan Rasulullah
Rasulullah Muhammad diutus semata-mata untuk membumikan dan menyebarluaskan etik-moralitas luhur. Melalui nilai itu, Rasulullah dengan agama Islam yang dibawanya memiliki misi sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Sejarah memperlihatkan, seluruh kehidupan-pandangan, sikap, dan perilaku-Nabi merepresentasikan nilai-nilai itu. Rasulullah dilahirkan dalam kepapaan. Ayah pun sudah mendahuluinya menemui Sang Pencipta sebelum ia lahir. Tak lama kemudian sang Ibu menyusul si suami. Untuk sekadar mempertahankan hidup, Nabi dalam usia sangat belia harus berjuang keras dengan menjadi pedagang. Modal yang ia miliki "hanyalah" kejujuran dan ketulusan. Ia hanya memiliki al-akhlak al-karimah, moralitas luhur.
Saat diangkat sebagai Rasul dan kemudian menjadi pemimpin negara kota Madinah, Nabi Muhammad menjalani kehidupan tanpa perubahan sikap sedikit pun. Ia, misalnya, tetap hidup dengan penuh kesederhanaan. Rasulullah sama sekali tidak silau dengan jabatan. Kejujuran, ketulusan, dan nilai-nilai luhur sejenis tetap dipegang teguh sepanjang hidupnya. Ia tidak pernah sekali pun menggunakan aji mumpung. Semua jabatan disikapi sebagai amanah sehingga Nabi tidak memosisikan diri sebagai pejabat. Ia menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Maka ia biasa berbaur duduk bersama masyarakat. Sebagai pemimpin, Nabi hadir untuk melayani, bukan untuk dilayani, apalagi minta dimanja. Kisah ketelatenanRasul memberikan makan setiap hari seorang Yahudi buta memperlihatkan senyatanya keberadaan Nabi sebagai representasi nilai-nilai etik-moralitas luhur.
Maka kita tidak perlu heran, ketika Nabi wafat, ia nyaris tidak meninggalkan warisan harta benda apa pun, apalagi jabatan, kepada anak istri dan keluarga. Satu-satunya warisan Nabi adalah sumber nilai yang tertuang dalam Al Quran dan Sunah Rasul. Itu pun bukan hanya untuk sanak keluarga, melainkan untuk umat Islam, bahkan seluruh umat manusia yang mau menjadikannya sebagai sumber rujukan hidup.
Kontekstualisasi
Kehidupan Rasulullah yang penuh dengan keluhuran itu senyatanya perlu dihadirkan dalam kekinian, khususnya di Indonesia. Peringatan Maulid Nabi yang baru dilaksanakan tidak bisa lagi sekadar bersifat seremonial tanpa memiliki dampak konkret dalam kehidupan.
Acara ini -khususnya saat Indonesia mengalami krisis kepemimpinan saat ini- harus dikembangkan menjadi kegiatan yang transformatif. Peringatan Maulid Nabi perlu dilanjutkan dengan upaya internalisasi nilai-nilai luhur ke dalam diri setiap Muslim dan dalam segala dimensi kehidupan.
Melalui peringatan Maulid, umat Islam, atau siapa pun yang merayakan, harus mampu berdialog dengan Nabi dan menyelami keagungan kehidupannya. Pada saat yang sama, umat Islam dituntut untuk membuat perjanjian dengan Rasul. Ia senyatanya berkomitmen untuk meneladani Rasulullah dalam mengimplementasikan dan menyebarkan etik-moralitas luhur dalam kehidupan.
Sejalan dengan itu, peringatan Maulid tidak bisa dipahami dan disikapi secara parsial. Peringatan keagamaan ini tidak bisa lagi dipisahkan dengan kegiatan keagamaan lain. Kegiatan ini harus menyatu dengan kegiatan yang lain. Peringatan ini perlu dikaitkan dengan pendidikan agama, bahkan dengan kehidupan itu sendiri.
Strategi holistik ini diharapkan dapat menumbuhkan dan menjadikan etik-moralitas luhur sebagai bagian intrinsik dari umat Islam. Dengan demikian, keberagamaan bukan lagi pengedepanan simbol semata, melainkan lebih pada praksis yang dapat mewujudkan kehidupan yang lebih bermoral.
Kegiatan agama-agama lain, seperti Natal, yang tahun ini berdempetan, sangat layak diposisikan seperti itu. Melalui peringatan keagamaan dengan strategi ini, kehadiran agama diharapkan akan lebih bermakna bukan hanya bagi penganut agama masing-masing, melainkan juga bagi umat manusia secara keseluruhan.
Artikel ini sudah dimuat di Harian KOMPAS, 26 Desember 2015.

dikutip dari: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/152/pembusukan-moral-signifikansi-maulid-nabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar