Akh. Muzakki
Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya
TULISAN Daniel M. Rosyid Kita Tidak Butuh Sekolah, Apalagi Kurikulum di Jawa Pos (8/12/2014)
menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Argumen dasar tulisan itu:
Tidak perlu ada sekolah dan tidak perlu ada kurikulum. Mengapa begitu?
Sebab, menurut dia, bukan sekolah dan kurikulum yang dibutuhkan bangsa
ini, tapi jejaring belajar (learning web).
Daniel
lalu memotret pentingnya internet. Kalimat yang penting untuk dikutip
dari tulisan itu dalam kaitan ini adalah: ’’Dengan internet, belajar
semakin tidak membutuhkan sekolah, apalagi kurikulum. Membentuk karakter
pun hanya bisa dilakukan secara efektif dengan praktik di luar
sekolah.’’
Ada
nalar yang keliru dalam tulisan Daniel M. Rosyid tersebut. Pertama, dia
gagal menampilkan esensi kurikulum pada naratif pendek di kolom itu.
Substansi kurikulum tidak lepas dari tiga komponen dasar. Yaitu, asumsi
yang dibangun tentang pendidikan serta pendekatan
konseptual-empiris-politis dalam melaksanakan asumsi dimaksud. Yang
lain, kemasan yang digunakan untuk mewadahi asumsi hingga pendekatan,
baik bersifat terang-terangan (overt) maupun tersembunyi(hidden), dalam tataran implementasi(Michael W. Apple, 1990: ix–x).
Bahkan,
memikirkan pendidikan itu sudah menjadi bagian dari kurikulum. Meminjam
ungkapan David Hamilton (1990), berpikir terus-menerus tentang
pendidikan (learning about education)pada hakikatnya juga termasuk kurikulum yang tidak pernah henti (an unfinished curriculum).
Menunjuk
pada substansi tersebut, teriakan ’’tidak butuh kurikulum’’ oleh Daniel
tidak menemukan basis konseptualnya dengan baik. Bahkan, dia telah
memunculkan kontradiksi yang sangat besar. Berkali-kali dia menyebut
substansi kurikulum itu. Tapi, yang ditolak adalah kemasan atau
desainnya.
Posisi
akademiknya yang ’’abu-abu’’ antara menolak dan menerima kurikulum dalam
pembelajaran sungguh tidak senilai dengan teriakan ’’tidak butuh
kurikulum’’ yang dilakukan. Kalau begitu, argumentasi tulisan dia harus
diluruskan. Ini sangat penting agar guru-guru kita di lapangan tidak
semakin galau, risau, dan sejenisnya atas praktik gonta-ganti kurikulum.
Bagaimanapun,
kita butuh kurikulum. Kurikulum memandu pelaksanaan pembelajaran.
Porosnya bisa pada hasil atau pengalaman belajar. Bergantung bangunan
paradigmatis yang dianut. Pada poin inilah letak beda antara mendidik
dan aktivitas mengasuh biasa. Bahkan, pendidikan kepengasuhan (parenting education)
saja yang kini tingkat kebutuhannya dirasakan di negeri ini memerlukan
panduan konseptual-material agar terarah serta efektif. Itulah esensi
kurikulum yang menjadi panduan praktik kepengasuhan dan kependidikan.
Kedua,
masalah kita saat ini bukan pada pembelajaran model persekolahan dan
kurikulumnya. Alih-alih kemasan kurikulum yang sering menyisakan
persoalan besar. Daniel sejatinya sudah sangat baik dalam menurunkan
kutipan pakar pendidikan Ken Robinson (2010) pada awal tulisannya.
Bunyinya: Every country on earth is now reforming its public
education. The problem is they are doing it by doing what they have done
in the past. Terjemahannya: Setiap negara di dunia kini
mereformasi pendidikan publiknya. Masalahnya, mereka melakukannya dengan
(dengan orientasi pada) apa yang telah mereka lakukan pada masa lalu.
Sayangnya,
Daniel tidak menjadikannya sebagai dasar argumentasi. Padahal, kutipan
itu mengandung substansi yang sangat baik untuk membangun model dan
kemasan kurikulum bagi kepentingan anak bangsa ke depan.
Kurikulum
dan masa depan anak didik memang memiliki kaitan yang sangat erat.
Namun, masalah orientasi kurikulum yang terlalu ke masa lalu dan kini
menjadi persoalan bersama bukan dominasi kita. Pakar filsafat pendidikan
dari University of Wisconsin-Madison, Harry Brighouse (2006: 14),
mengkritik tajam kurikulum negara maju seperti Amerika, Inggris, dan
Prancis.
Menurut
dia, masalah yang kerap melanda dunia pendidikan di mana pun, termasuk
di negara-negara maju itu, adalah tercerabutnya anak didik dari
kesempatan dan kemampuan untuk berpikir serta bertindak dalam mengambil
keputusan. Khususnya keputusan tentang cara menghadapi masa depannya
secara relevan dengan tantangan masa itu.
Dalam
perspektif Harry Brighouse, satu-satunya cara hidup yang dimiliki anak
didik untuk menghadapi masa depannya selama ini bergantung pada
pengalamannya saat mereka dibesarkan orang tua dan gurunya. Terlepas
apakah pengalaman itu sesuai atau tidak lagi dengan kondisi masa depan
yang dihadapi anak.
Kritik
pakar filsafat pendidikan tersebut memberikan pelajaran menarik bahwa
pendidikan harus menyiapkan masa depan anak dengan baik. Caranya,
memperkuat kemampuan otonomi mereka agar bisa menghadapi masa depannya
sendiri. Pendidikan yang terlalu konservatif dengan hanya mengulang masa
lalu orang dewasa oleh anak didik hanya akan mengkhawatirkan terhadap
kemandirian anak didik dalam menghadapi tantangan hidup masa depannya.
Karena
itu, yang dibutuhkan peserta didik adalah penanaman nilai, bukan
penjejalan materi. Sebab, materi bisa berubah seiring dengan perubahan
zaman, sedangkan nilai akan selalu hidup dan mampu mengiringi setiap
perubahan saat ia tertanam kuat dalam diri anak didik.
Karena
itulah, yang dibutuhkan anak didik saat ini adalah penguatan nilai
kepeloporan, kejujuran, kreativitas, dan inovasi dalam kehidupan mereka.
Sebab, nilai-nilai itulah yang dibutuhkan untuk memperkuat semangat dan
pola kemandirian yang diperlukan untuk menghadapi masa depan dengan
tingkat dan jenis tantangan yang berbeda dengan kehidupan masa
sebelumnya.
Minimnya
penyediaan kesempatan untuk tumbuhnya nilai kepeloporan, kejujuran,
kreativitas, serta inovasi menjadi awal kegagalan penguatan semangat dan
pola kemandirian pada diri anak didik. Itu semua adalah perihal
kurikulum. Urusannya tidak pernah lepas dari desain kurikulum yang
dibangun.
Ketiga,
tulisan Daniel terlalu membebankan persoalan bangsa ini kepada
pendidikan persekolahan. Dia lupa bahwa anak hanya menghabiskan waktu
rata-rata 7 jam di sekolah. Sisanya di rumah serta di ruang antara rumah
dan sekolah. Dalam konteks inilah, orang tua dan masyarakat memegang
porsi tanggung jawab yang sama dalam membesarkan anak bangsa ini.
Fakta,
problem yang menjangkiti anak bangsa ini terjadi hampir di setiap ruang
sosial. Mulai sekolah, rumah, dan bahkan antara sekolah dan rumah. Rumah
yang ramah, aman, nyaman, dan tempat penyemai karakter anak saja masih
menjadi masalah. Karena itu, dibutuhkan sinergi antara sekolah, orang
tua, serta masyarakat.
Kita memang punya masalah dengan tata kelola pendidikan yang buruk (poor education governance)serta
guru yang tidak berkompeten. Tapi, tidak berarti tidak butuh sekolah,
apalagi kurikulum. Kita butuh keduanya. Kalau hanya ingin membunuh
tikus, jangan bakar lumbungnya.
Artikel ini sudah dimuat di Jawa Pos, 9 Desember 2014
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/12/butuh-sekolah-dan-butuh-kurikulum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar