enjoy reek yaaaa....

Kamis, 23 Juni 2016

Sejarah Singkat PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang

PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, terletak di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, tepatnya ± 3 Km sebelah utara kota Jombang. PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM Tambakberas Jombang, dengan sosio kultur religious agraris.
Sekitar tahun 1825 di sebuah Desa yang jauh dengan keramaian kota Jombang, tepatnya di sebelah utara kota Jombang, di Dusun Gedang kelurahan Tambakrejo, datanglah seorang yang ‘alim, pendekar ulama atau ulama pendekar, bernama ABDUS SALAM namun lebih dikenal dengan panggilan MBAH SHOICHAH (bentakan yang membuat orang gemetar) Kedatangannya di dusun ini membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya. Menurut silsilah beliau termasuk keturunan Raja Brawijaya (kerajaan Majapahit).
Abdus Salam putra Abdul Jabbar putra Abdul Halim (Pangeran Benowo) putra Adurrohman (Jaka Tingkir). Selengkapnya Baca Silsilah Kyai Abdussalam halaman 21.
Kedatangan Abdus Salam di Desa ini semula masih merupakan hutan belantara, kurang lebih 13 tahun dia bergelut dengan semak belukar dan kemudian dijadikan perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah ia membuat gubuk tempat ia berdakwah yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri dan tempat tinggal yang sederhana. Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pondok Selawe atau Telu, dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang dan jumlah bangunan yang hanya terdiri 3 lokalbeserta mushollanya. Hal ini terjadi pada tahun 1838 M, kondisi tersebut adalah cikal bakal PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM.
Sementara itu menurut versi yang lain istilah 3 (telu) adalah merupakan representasi dari Pondok Selawe atau Pondok Telu yang mengembangkan ilmu-ilmu Syari’atHakikat dan Kanuragan. Hal itu didasarkan pada manifestasi keilmuan Mbah Shoichah sendiri yang mencakup ketiganya.
Setelah Kyai Shoichah (Abdussalam) berusia lanjut (sepuh: bahasa jawa) tampuk pimpinan pondok Selawe atau pondok telu diserahkan kepada dua menantunya yang tidak lain adalah santrinya sendiri. Kedua menantunya tersebut adalah Kyai Ustman dan Kyai Sa’id. Dengan mendapat restu dari mertuanya Kyai Ustman dan Kyai Sa’id  menjadikan pondok menjadi dua cabang, hal ini dikarenakan jumlah santri yang semakin bertambah banyak. Kyai Ustman mengembangkan pondok di Dusun Gedang yang tidak jauh dari pesantren ayah mertuanya yaitu di sebelah timur sungai pondok pesantren, sedangkan Kyai Sa’id  mengembangkan pesantren di sebelah barat sungai.
Dalam penataan manajemen pendidikan pesantren yang diasuhnya, Kyai Ustman lebih berkonsentrasi mengajarkan ilmu-ilmu Thoriqot atau Tasawuf, sedangkan Kyai Sa’id mengajarkan ilmu-ilmu Syari’at.
Sumber:https://ppbu935.wordpress.com

BERJIWA MERDEKA DENGAN PUASA


Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Penulis Buku/Founder: “60 Menit Terapi Shalat Bahagia”(www.terapishalatbahagia.net)
Ceramah Shalat Taraweh di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya 14 Juli 2013
merpati1Tahukah Anda bahwa Ramadlan berati pembakaran? Bisa berarti membakar lemak, karena tetap bekerja dan berkeringat sekalipun sedang berlapar-lapar puasa, dan bisa juga membakar dosa yang menumpuk. Kita harapkan, puasa juga membakar semangat untuk manjadi manusia merdeka. Paling tidak merdeka dari mental mengeluh dan mental peminta.
Mungkin luput dari penghayatan Anda, bahwa setiap shalat taraweh dan witir, Anda diajak sang imam bersenandung doa, Asyh-hadu an la ilaha illallah, astaghfirullah. As-aluka ridlaka wal jannata wa-‘adzubika min sakhatika wannar“ (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Aku memohon ampunan kepada-Mu. Wahai Allah, aku benar-benar mengharap ridlo-Mu dan surga. Jauhkan aku dari murka-Mu dan neraka.”  Khusus permohonan “ridlo-Mu,” saya terjemahkan secara bebas, “Oh Allah, aku ingin Engkau senang melihat aku.”
Apalah artinya, jika Anda kaya raya, tapi Allah tidak menyukai Anda. Di mata mukmin sejati, lebih baik miskin dengan ridlo ilahi, daripada kaya tapi Allah murka. Untuk apa Anda sehat wal afiat, jika kesehatan itu tidak mendatangkan ridlo Allah. Bagi mukmin yang cerdas, lebih baik sakit tapi Allah senyum melihat dia, daripada sehat tapi menjadi sarana durhaka.  Semoga Anda tidak mengalami  pilihan kepepet itu. Anda pasti sama dengan saya dan semua mukmin: ingin sehat, kaya dan sukses sekaligus disenangi Allah.
Untuk mengupas soal ridlo Allah, saya kutipkan doa Nabi ketika mendapat lemparan batu dari penduduk Thaif, desa kecil sebelah utara Mekah, yang belum faham visi misi Nabi. Orang tidak lagi bisa mengenal wajah Nabi saat itu, karena lumuran darah yang menutupi wajahnya. Giginya pun patah. Inilah doanya,  Wahai Allah, kepada-Mu aku mengadukan kekuatanku yang lemah, ikhtiarku yang terbatas, dan diri yang hina di mata manusia. Engkau Tuhan PalingPengasih dari semua pengasih, Engkau pelindung orang-orang yang tertindas dan Engkaulah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau  menyerahkan diriku ini?. Kepada mereka yang tiada saya duga menyerangku (hari ini) atau kepada mereka yang bisa bertindak apa saja kepadaku?. Selama Engkau tidak murka kepadaku, semuanyatiada masalah bagiku. Sungguh, perlindungan-Mu tiada terbatas. Dengan cahaya-Mu yang mengusir kegelapan, dan memberi kebaikan permasalahan dunia dan akhirat, aku memohon agar Engkau tidak murka kepadaku. Demi Engkaulah aku rela dihinakan, asal Engkau ridla padaku. Tiada daya dan tiada kekuatan, kecuali dari-Mu. (lihat Buku Doa Al Mustahabbah p. 17-18)
Kata kunci pada doa di atas adalah “ridlo.” Gigi yang patah, muka yang bermake-up darah tidak menjadi masalah sama sekali bagi Nabi asal Allah tidak murka kepadanya. Perjalanan seterjal apapun, lembah securam apapun atau gelombang ombak berapapun tingginya,  akan dilalui oleh Nabi demi mengejar ridlo-Nya. Cercaan orang sepedas apapun akan diterima dengan ikhlas oleh Nabi asal bisa meraih ridlo Allah. Bahkan Nabi menjadi pohon mangga: dilempar dengan batu, tapi dibalas dengan kiriman buah masak nan segar.
Semua Anda akan kembali kepada Allah. Kembalilah kepadanya dengan senyum dan disambut dengan senyum-Nya. Anda pasti tersiksa, jika berkunjung ke rumah orang, lalu tuan rumah itu muak melihat Anda, malas berbicara, atau menutup telinga ketika Anda berbicara. Tanpa suguhan apapun, Anda pasti bahagia, jika tuan rumah tiada henti tersenyum dan bersemangat berbicara dengan Anda.
Bagaimana kita bisa meraih ridlo Allah itu? Aminilah doa sang imam berikutnya, “Allahummaj’alna bil imani kaamilin, watahta liwaai sayyidina Muhammadin yaumal qiyamati saa-irin, Wabil qadloi rodlin.” (Wahai Allah, jadikan kami hidup dengan iman yang sempurna, tempatkan kami pada barisan pemegang bendera Nabi Muhammad pada hari kiamat, dan jadikan kami ridlo terhadap semua takdir-Mu). Jangan hanya mengamini, tapi berupayalah menjalani hidup sesuai dengan ujung doa itu, “Jadikan kami ridlo dengan semua takdir-Mu.”  Jika Anda ridlo dengan apapun takdir Allah, tidak mengeluh sama sekali dengan takdir yang tidak Anda sukai itu,  Allah pasti ridlo dengan siapapun Anda. Jika Anda ridlo dengan rizki yang sedikit, Allah akan ridlo menerima kehadiran Anda dengan pahala yang sedikit. Senyum Anda ketika mendapat takdir cobaan hidup, adalah senyum Allah untuk Anda, sebagai simbol ridlo-Nya.
Terimalah dengan ikhlas dan ridlo penyakit yang Anda derita sekarang ini, jangan mengeluh. Terimalah dengan senang cobaan kebangkrutan ekonomi sekarang ini. Jangan sekali-kali mengeluh karenanya. Terimalah dengan kesabaran, takdir Allah berupa pasangan hidup yang amat menjengkelkan Anda saat ini. Terimalah dengan senang hati dan optimis. Anda mungkin juga sedang diberi cobaan berupa anak yang menyesakkan dada Anda. Jangan mengeluh. Semua itu takdir Allah untuk menguji mukmin macam apa Anda sebenarnya. Juga untuk mencerdaskan dan mematangkan mental Anda untuk menghadapi kesuksesan besar yang sudah dipersiapkan Allah untuk Anda di kemudian hari. Percayalah. (baca Buku 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, hal. 173-177)
Jika Anda mengeluh, Anda merasakan empat melapetaka: jiwa yang menderita, fisik yang rapuh bahkan bertambah sakit, doa yang tidak terkabul, dan kematian yang mengerikan.  Saya katakan kematian yang mengerikan, sebab  Allah tidak suka bertemu dan berbicara kepada orang mati dengan membawa keluhan atau kejengkelan terhadap takdir-Nya. Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi, “Barangsiapa tidak senang dengan keputusan dan takdir-Ku, maka hendaknya ia segera mencari Tuhan selain Aku”(HQR. Al Baihaqi dari Anas r.a). “Barangsiapa tidak beriman pada takdir-Ku: enak atau tidak enak, maka Aku tidak akan mengurusinya lagi” (HQR. Abu Ya’la dari Abu Hurairah r.a)
Sebaliknya, jika Anda ikhlas dan ridlo terhadap takdir Allah, Anda mendapat empat bonus kebahagiaan: jiwa yang bahagia, fisik yang lebih sehat, doa yang mudah terkabul dan kematian yang menyenangkan. Allah sangat senang melihat Anda dan Anda pun senang menerima apapun pemberian-Nya. Jika Anda meninggal pada saat demikian, Allah akan merangkul Anda. Keharuman ruh Anda menjadi rebutan malaikat di langit yang mengantarkan ruh ke pemiliknya yang sejati, Allah SWT.
Dengan puasa, Anda juga harus merdeka dari mental peminta. Ramadan adalah bulan kedatangan Malaikat Jibril untuk bertadarus Al Qur’an dengan Nabi SAW. Ia mendengarkan dengan seksama ayat demi ayat yang dibaca Nabi SAW. Bacaan Al Qur’an Anda juga selalu didengar para malaikat.  Berbahagialah dengan Al Qur’an dan bersenanglah Anda berdampingan dengan para malaikat selama Anda membaca ayat-ayat Allah itu. Salah satu pesan Jibril ketika bertemu Nabi SAW adalah, “(Wahai Muhammad)… manusia perkasa adalah manusia yang tidak bergantung lagi kepada manusia” (wa‘izzahu istighnaa-uhu ‘anin naas) (HR Al Baihaqi dari Jabir r.a). Muslim perkasa adalah muslim mandiri: tidak mengharap pemberian atau jasa orang lain, tapi berusaha bagaimana bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, bahkan berprinsip “aku harus menjadi pemberi.” Saya teringat beberapa sopir taksi di Inggris yang rata-rata sudah lansia. Mereka ingin hidup mandiri, tidak mau bergantung kepada siapapun termasuk anaknya sendiri. Dengan puasa dan sedekah selama Ramadan, kita berusaha meniru Allah: tidak makan, tapi selalu memberi makan orang.
Saya mengajak semua orang, termasuk yang tidak kaya untuk berbuka puasa dengan separuh porsi saja, agar bisa berbagi buka puasa pada orang lain. Dengan cara itu, saya menawarkan tiga bonus: ramadlan bukan menjadi bulan menumpuk lemak, shalat taraweh Anda aman dari kantuk yang biasanya terjadi karena terlalu kenyang, dan Anda mendapat tambahan pahala senilai sehari puasa dari penerima sedekah Anda.
Tahukah Anda jumlah orang miskin penerima BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) sekarang ini 15,5 juta orang.  Mereka berebut dan berdesakan menerimanya sampai tidak terasa menginjak wanita tua sampai ia meninggal. Inilah bantuan yang menyebabkan kepala desa takut diserbu warga, karena antara data penerima tertulis  dengan kenyataan di lapangan berbeda. Tertulis sebagai orang miskin, tapi ternyata rumah dan gaya hidupnya tidak menunjukkan kemiskinan. Sedangkan tetangga sebelahnya penghuni rumah kecil, pekerja penarik sampah tidak tercatat dalam daftar penerima BLSM. Terjadilah konflik horisontal dan vertikal. Semua konflik  itu terjadi karena kebanyakan orang tidak merdeka dari mental peminta. Mereka tidak malu dengan pekerja perawat taman kota di Surabaya yang beberapa hari yang lalu diwawancarai sebuah stasiun televisi, menolak BLSM karena melihat ada orang yang jauh lebih membutuhkan dari dirinya. Kenapa kita lebih suka diberi daripada memberi?. Tidakkah menurut Nabi, manusia pemberi lebih terhormat dari penerima. Maukah?
Bebaskan diri dari ketergantungan orang lain. Termasuk, bergantung pada orang lain untuk menuntun bacaan kalimat tauhid menjelang mati Anda. Orang yang menerima wasiat  Anda untuk mengajari la ilaha illallah itu tidak dijamin mati lebih akhir dari Anda. Biasakan membaca kalimat tauhid itu, agar terbentuk reflektivitas atau sensor otomatis, sehingga jika sewaktu-waktu Malaikat Izrail datang, secara otomatis Anda mengucapkannya dengan tegas dan benar, tanpa diajari siapapun.
Bagaimana dengan bacaan surat Yasin untuk orang yang akan meninggal? Nabi  SAW bersabda, “Yasin adalah jantung Al Qur’an. Siapapun membacanya dengan tujuan ridla Allah dan pahala akhirat, pastilah ia diampuni dosanya. Bacalah surat itu untuk siapapun di antara kalian yang akan meninggal” (HR Ahmad dan Abu Daud dari Ma’qil bin Yasar ra).  Hampir semua ulama sepakat bahwa bacaan Yasin untuk orang yang akan meninggal mendatangkan ridla Allah dan keringanan (ampunan)-Nya. Dalam hal ini, sebaiknya Anda juga tidak bergantung kepada orang lain. Sebab bisa saja terjadi, Anda meninggal sendirian tanpa ada orang mengetahuinya. Mengapa Anda tidak menghafal saja Surat Yasin mulai sekarang? Ada seorang guru sekolah dasar di Lamongan yang menjelang matinya membaca Surat Yasin sampai selesai dalam keadaaan setengah sadar. Beberapa detik setelah itu ia menutup akhir hayatnya dengan kalimat tauhid, la ilaha illallah. Silakan mulai menghafal surat itu, sedikit demi sedikit. Saya yakin bisa, jika ada kemauan dan memiliki mental kemandirian.   
Merdeka! Selamat menjadi manusia merdeka dari mental mengeluh dan mental peminta. Hasbunallah wani’mal wakil. (Kun Yaquta Foundation: 031.77337800)
sumber gambar: http://www.iluvislam.com/wp-content/uploads/2011/12/merpati1.jpg
Artikel ini dikutip dari :http://www.terapishalatbahagia.net/berjiwa-merdeka-dengan-puasa/

Kemerdekaan yang Sempurna



Karya : Zainuri Faiq (My Beloved Brother)

Dahulu kala sebuah kalimat menjadi pusaka
Dahulu kala buah bibir menjadi pemersatu
Sedikit ucapan menyimpan sejuta arti
Mereka bukan diorama pencipta drama
Mereka berada dalam dimensi klasik
Yang kita kenal dengan sejarah Indonesia
Andai semua orang tahu
Tak akan ada lagi syahdu
Hanya untuk kita mereka berjuang
Tanpa ada rasa pamrih
Mungkin air mata tipis yang tercecer tersembunyi
Kemerdekaan yang sempurna
Apakah hanya engkau pemiliknya?
Padahal kau hanya masa lalu
Darahmu surgamu
Darahmu kini bahagiaku
Tumpahkanlah kami darahmu yang dulu
Untuk Indonesiaku sekarang
Salam kami untuk negeri
Kemerdekaan yang sempurna

                                    Jombang, 08 Mei 2016

Menyelamatkan Demokrasi

Masdar Hilmy, PhD
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur

SIAPA pun yang menyaksikan drama politik nasional pasti dibuat bingung dengan aksi teatrikal sejumlah elite politik di Senayan.

Pengesahan Undang-Undang Pilkada oleh DPRD menjadi titik balik yang menggerus optimisme rakyat akan tercapainya transisi dan konsolidasi full-fledged democracy di negeri ini. Meminjam Cristopher Lasch (1996), perilaku elite di balik pengesahan UU Pilkada oleh DPRD merupakan bentuk pengkhianatan atas demokrasi (betrayal of democracy) di jantung demokrasi.
Sinyalemen "pengkhianatan atas demokrasi" mungkin terkesan hiperbolis. Namun, sinyalemen itu harus menjadi bahan refleksi bagi para elite partai politik sebelum rakyat benar-benar murka dan menarik mandat mereka. Kekuasaan yang diraih para wakil rakyat bukanlah cek kosong untuk berbuat semau gua tanpa mengindahkan aspirasi si pemberi mandat. Sudah saatnya partai politik secara cerdas membaca aspirasi rakyat melalui hasil-hasil survei sebagai basis bagi gerak langkahnya. Pengabaian aspirasi rakyat merupakan tindakan arogan yang dapat mencederai amanat mereka.
Dekonsolidasi demokrasi
Dalam konteks ini, yang dipertontonkan sejumlah elite di gedung parlemen menunjukkan gerak mundur demokrasi. Dalam ungkapan lain, perjalanan demokrasi mengalami dekonsolidasi atau penguraian kembali benang-benang demokrasi yang telah terpintal dengan sedemikian rapi, rancak, dan apik.
Ironisnya, penguraian kembali benang-benang demokrasi bukan dilakukan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi kekuasaan di negeri ini, tetapi oleh para elite partai politik sebagai wakil mereka! Sebuah gambaran sempurna dari pemangkasan hak-hak politik warga untuk menentukan sendiri pemimpin yang dikehendaki.
Juan J Linz & Alfred Stepan dalam Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996) menggambarkan demokratisasi sebagai proses dua tahap: tahap transisi dan konsolidasi. Tahap transisi adalah ketika sebuah rezim demokrasi memenuhi empat persyaratan berikut, yaitu 1) terdapat kesepakatan tentang prosedur dan mekanisme penyelenggaraan pemilu yang demokratis; 2) pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilu langsung; 3) pemerintah memiliki otoritas merumuskan kebijakan-kebijakannya, 4) tak ada pembagian kekuasaan (power sharing) di luar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tahap kedua, ketika demokrasi sudah terkonsolidasi, ditandai dengan tiga karakteristik berikut; 1) dalam hal perilaku, tidak ada kelompok politik yang berusaha menggulingkan rezim demokratis melalui kekerasan atau intervensi asing; 2) dalam hal sikap, opini publik mayoritas rakyat meyakini bahwa perubahan politik harus dilakukan dalam kerangka parameter demokrasi, bahkan dalam kondisi krisis ekonomi dan politik yang parah sekalipun; 3) dalam hal konstitusi, semua kekuatan pemerintah dan non-pemerintah sepakat bahwa konflik politik diselesaikan melalui prosedur dan institusi hukum dalam kerangka rezim demokrasi.
Melihat parameter di atas, menjadi tak relevan untuk mempertanyakan kembali signifikansi pemilihan langsung dalam sistem demokrasi dengan dalih mahalnya biaya politik dan maraknya politik uang. Bahwa terdapat banyak kekurangan dalam pemilihan langsung tak berarti mekanisme ini harus dihapus dan diganti dengan pemilihan tidak langsung oleh parlemen.
Mekanisme pemilihan langsung jelas tidak bisa dipersalahkan atas sejumlah kekurangan yang ada, tetapi isunya adalah bagaimana agar segala bentuk kekurangan itu bisa ditekan dan dihilangkan. Kelemahan pemilihan langsung sangat terkait dengan integritas moral dan budaya politik bangsa kita yang masih membuka peluang bagi beraneka bentuk moral hazard dimaksud.
Selain argumentasi di atas, ada pula sejumlah pengusung pemilihan tidak langsung yang mendasarkan argumentasinya pada pertentangan antara demokrasi liberal Barat (sebagai representasi pemilihan langsung) dan Pancasila (sebagai representasi sistem perwakilan atau pemilihan tidak langsung).
Memperhadapkan keduanya secara diametral bukan saja merupakan sebentuk simplifikasi berpikir, tetapi juga reduksionisme epistemologis. Demokrasi dan Pancasila bukanlah konsep yang ekuivalen untuk diperbandingkan, terlebih diperhadapkan. Keduanya lebih merupakan flesh and blood dalam sistem kehidupan bernegara dan berbangsa yang saling melengkapi.
Dalam konteks ini, pemilihan langsung ataupun tidak langsung jelas tidak ada kaitan dengan Barat atau Timur, liberalisme atau Pancasila, bertuhan atau tidak bertuhan, dan semacamnya. Memilih langsung seorang pemimpin—terutama dalam sistem politik presidensialisme—merupakan bagian dari hak-hak dasar warga (civic rights) yang tidak bisa diwakilkan. Sejalan dengan itu, pemenuhan negara atas hak-hak sipil warga bukanlah soal pilihan, melainkan kewajiban negara untuk terus mengawal dan melindungi.
Perlawanan rakyat semesta
Sampai di sini, rasanya kita sulit menampik kenyataan bahwa demokrasi kita sedang mengalami titik kritis. Demokrasi kita mengalami kondisi darurat pertolongan (SOS). Perlu langkah-langkah kolektif dan sistematis untuk menyelamatkan demokrasi kita dengan cara menghentikan tindakan anarkistis pihak-pihak tertentu yang coba memangkas dan melucuti hak-hak dasar warga.
Meskipun demikian, langkah-langkah penyelamatan mestinya tidak perlu terjadi seandainya tidak ada "dusta di antara kita" melalui aksi teatrikal sejumlah elite partai politik di Senayan. Tidak perlu pula Presiden mengeluarkan jurus "penyelamatan citra" melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), seandainya setiap proses demokrasi tidak mengalami pereduksian dan pendangkalan makna.
Namun, sudahlah. Mari kita apresiasi niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perppu. Ibarat pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Terpenting lagi, gerakan perlawanan harus dimulai dari semua elemen masyarakat, seperti kelompok masyarakat sipil (LSM), tokoh agama, elite politik, akademisi kampus, mahasiswa, dan masyarakat pinggiran. Artinya, langkah menyelamatkan demokrasi harus dimulai dari setiap kita yang masih mencintai Indonesia dan demokrasi. Tanpa gerakan perlawanan rakyat semesta, pengerdilan dan pereduksian atas nama demokrasi akan terus terjadi di panggung politik kita.
Memang partai politik yang berusaha melawan aspirasi rakyat pasti akan mendapat hukuman dari konstituen pada saat pemilu. Namun, kita tidak perlu menunggu masa lima tahun lagi untuk menentukan sikap kita dalam menegakkan hak-hak dasar warga.
Yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan para petinggi negeri ini bahwa memelihara hak-hak dasar warga itu sama pentingnya dengan mengatasi sejumlah kekurangan dalam pemilihan langsung, tidak malah menggantinya dengan sistem dan mekanisme yang mundur ke belakang. Sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, raison d'etre institusi demokrasi adalah untuk menjamin, menjaga, dan melindungi hak-hak dasar warga dalam menentukan pilihan politiknya. Kita telanjur berada pada tahap point of no return dalam berdemokrasi.
Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 15 Oktober 2014
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/16/menyelamatkan-demokrasi

Butuh Sekolah dan Butuh Kurikulum

Akh. Muzakki
Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya

TULISAN Daniel M. Rosyid Kita Tidak Butuh SekolahApalagi Kurikulum di Jawa Pos (8/12/2014) menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Argumen dasar tulisan itu: Tidak perlu ada sekolah dan tidak perlu ada kurikulum. Mengapa begitu? Sebab, menurut dia, bukan sekolah dan kurikulum yang dibutuhkan bangsa ini, tapi jejaring belajar (learning web).
Daniel lalu memotret pentingnya internet. Kalimat yang penting untuk dikutip dari tulisan itu dalam kaitan ini adalah: ’’Dengan internet, belajar semakin tidak membutuhkan sekolah, apalagi kurikulum. Membentuk karakter pun hanya bisa dilakukan secara efektif dengan praktik di luar sekolah.’’
Ada nalar yang keliru dalam tulisan Daniel M. Rosyid tersebut. Pertama, dia gagal menampilkan esensi kurikulum pada naratif pendek di kolom itu. Substansi kurikulum tidak lepas dari tiga komponen dasar. Yaitu, asumsi yang dibangun tentang pendidikan serta pendekatan konseptual-empiris-politis dalam melaksanakan asumsi dimaksud. Yang lain, kemasan yang digunakan untuk mewadahi asumsi hingga pendekatan, baik bersifat terang-terangan (overt) maupun tersembunyi(hidden), dalam tataran implementasi(Michael W. Apple, 1990: ix–x).
Bahkan, memikirkan pendidikan itu sudah menjadi bagian dari kurikulum. Meminjam ungkapan David Hamilton (1990), berpikir terus-menerus tentang pendidikan (learning about education)pada hakikatnya juga termasuk kurikulum yang tidak pernah henti (an unfinished curriculum).
Menunjuk pada substansi tersebut, teriakan ’’tidak butuh kurikulum’’ oleh Daniel tidak menemukan basis konseptualnya dengan baik. Bahkan, dia telah memunculkan kontradiksi yang sangat besar. Berkali-kali dia menyebut substansi kurikulum itu. Tapi, yang ditolak adalah kemasan atau desainnya.
Posisi akademiknya yang ’’abu-abu’’ antara menolak dan menerima kurikulum dalam pembelajaran sungguh tidak senilai dengan teriakan ’’tidak butuh kurikulum’’ yang dilakukan. Kalau begitu, argumentasi tulisan dia harus diluruskan. Ini sangat penting agar guru-guru kita di lapangan tidak semakin galau, risau, dan sejenisnya atas praktik gonta-ganti kurikulum.
Bagaimanapun, kita butuh kurikulum. Kurikulum memandu pelaksanaan pembelajaran. Porosnya bisa pada hasil atau pengalaman belajar. Bergantung bangunan paradigmatis yang dianut. Pada poin inilah letak beda antara mendidik dan aktivitas mengasuh biasa. Bahkan, pendidikan kepengasuhan (parenting education) saja yang kini tingkat kebutuhannya dirasakan di negeri ini memerlukan panduan konseptual-material agar terarah serta efektif. Itulah esensi kurikulum yang menjadi panduan praktik kepengasuhan dan kependidikan.
Kedua, masalah kita saat ini bukan pada pembelajaran model persekolahan dan kurikulumnya. Alih-alih kemasan kurikulum yang sering menyisakan persoalan besar. Daniel sejatinya sudah sangat baik dalam menurunkan kutipan pakar pendidikan Ken Robinson (2010) pada awal tulisannya. Bunyinya: Every country on earth is now reforming its public education. The problem is they are doing it by doing what they have done in the past. Terjemahannya: Setiap negara di dunia kini mereformasi pendidikan publiknya. Masalahnya, mereka melakukannya dengan (dengan orientasi pada) apa yang telah mereka lakukan pada masa lalu.
Sayangnya, Daniel tidak menjadikannya sebagai dasar argumentasi. Padahal, kutipan itu mengandung substansi yang sangat baik untuk membangun model dan kemasan kurikulum bagi kepentingan anak bangsa ke depan.
Kurikulum dan masa depan anak didik memang memiliki kaitan yang sangat erat. Namun, masalah orientasi kurikulum yang terlalu ke masa lalu dan kini menjadi persoalan bersama bukan dominasi kita. Pakar filsafat pendidikan dari University of Wisconsin-Madison, Harry Brighouse (2006: 14), mengkritik tajam kurikulum negara maju seperti Amerika, Inggris, dan Prancis.
Menurut dia, masalah yang kerap melanda dunia pendidikan di mana pun, termasuk di negara-negara maju itu, adalah tercerabutnya anak didik dari kesempatan dan kemampuan untuk berpikir serta bertindak dalam mengambil keputusan. Khususnya keputusan tentang cara menghadapi masa depannya secara relevan dengan tantangan masa itu.
Dalam perspektif Harry Brighouse, satu-satunya cara hidup yang dimiliki anak didik untuk menghadapi masa depannya selama ini bergantung pada pengalamannya saat mereka dibesarkan orang tua dan gurunya. Terlepas apakah pengalaman itu sesuai atau tidak lagi dengan kondisi masa depan yang dihadapi anak.
Kritik pakar filsafat pendidikan tersebut memberikan pelajaran menarik bahwa pendidikan harus menyiapkan masa depan anak dengan baik. Caranya, memperkuat kemampuan otonomi mereka agar bisa menghadapi masa depannya sendiri. Pendidikan yang terlalu konservatif dengan hanya mengulang masa lalu orang dewasa oleh anak didik hanya akan mengkhawatirkan terhadap kemandirian anak didik dalam menghadapi tantangan hidup masa depannya.
Karena itu, yang dibutuhkan peserta didik adalah penanaman nilai, bukan penjejalan materi. Sebab, materi bisa berubah seiring dengan perubahan zaman, sedangkan nilai akan selalu hidup dan mampu mengiringi setiap perubahan saat ia tertanam kuat dalam diri anak didik.
Karena itulah, yang dibutuhkan anak didik saat ini adalah penguatan nilai kepeloporan, kejujuran, kreativitas, dan inovasi dalam kehidupan mereka. Sebab, nilai-nilai itulah yang dibutuhkan untuk memperkuat semangat dan pola kemandirian yang diperlukan untuk menghadapi masa depan dengan tingkat dan jenis tantangan yang berbeda dengan kehidupan masa sebelumnya.
Minimnya penyediaan kesempatan untuk tumbuhnya nilai kepeloporan, kejujuran, kreativitas, serta inovasi menjadi awal kegagalan penguatan semangat dan pola kemandirian pada diri anak didik. Itu semua adalah perihal kurikulum. Urusannya tidak pernah lepas dari desain kurikulum yang dibangun.
Ketiga, tulisan Daniel terlalu membebankan persoalan bangsa ini kepada pendidikan persekolahan. Dia lupa bahwa anak hanya menghabiskan waktu rata-rata 7 jam di sekolah. Sisanya di rumah serta di ruang antara rumah dan sekolah. Dalam konteks inilah, orang tua dan masyarakat memegang porsi tanggung jawab yang sama dalam membesarkan anak bangsa ini.
Fakta, problem yang menjangkiti anak bangsa ini terjadi hampir di setiap ruang sosial. Mulai sekolah, rumah, dan bahkan antara sekolah dan rumah. Rumah yang ramah, aman, nyaman, dan tempat penyemai karakter anak saja masih menjadi masalah. Karena itu, dibutuhkan sinergi antara sekolah, orang tua, serta masyarakat.
Kita memang punya masalah dengan tata kelola pendidikan yang buruk (poor education governance)serta guru yang tidak berkompeten. Tapi, tidak berarti tidak butuh sekolah, apalagi kurikulum. Kita butuh keduanya. Kalau hanya ingin membunuh tikus, jangan bakar lumbungnya.
Artikel ini sudah dimuat di Jawa Pos, 9 Desember 2014
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/12/butuh-sekolah-dan-butuh-kurikulum

MENGAPA PERLU MORALITAS LUHUR DI KAMPUS?

 Wasid Mansyur
Akademik Pusat Ma’had Al-Jami’ah UINSA Surabaya
 
Drs. Rijalul Faqih, Msi, selaku kabag akademik UIN Sunan Ampel dalam sambutannya ketika pelaksanaan apel pagi pada hari kamis, mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa beberapa wali mahasiswa meng-kuliahkan anaknya di UIN Sunan Ampel adalah agar kelak anaknya memiliki moralitas luhur setelah lulus.
Pernyataan salah satu wali mahasiswa itu disampaikan dalam forum pertemuan wali mahasiswa di Audutorium UIN-SA baru-baru ini. Secara prinsip pernyataan ini penting, apalagi diketahui bahwa yang memiliki harapan itu adalah wali mahasiswa yang bekerja sebagai paramedis di salah-satu rumah sakit terkenal di Surabaya. Sekalipun dia larut selama 20 tahun-an dalam dunia kedokteran, tapi hasratnya pada pendidikan moral cukup besar berharap kepada civitas UIN Sunan Ampel sebab moralitas ini –menurut keyakinnya-- kelak yang akan mengantarkan anaknya selamat, bukan hanya dunia dan akhirat (salamatan fi al-dunya wa al-akhirat).
Pernyataan wali mahasiswa ini, mengingatkan pada pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri, yakni K.H.A. Djazuli Ustman yang dikenal dengan sang Blawong. Dalam buku K.H. A. Djazuli Ustman; Sang Blawong Pewaris Keluhuran (2011) disebutkan Bahwa Mas’ud, sebutan kecil K.H. A. Djazuli Ustman, adalah dikenal memiliki kecerdasan di luar rata-rata bahkan bahasa Belanda dikuasainya dengan baik, termasuk matematika, ilmu ukur dan lain-lain, setelah lulus dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS) setingkat SLTA (hal,15).
Tak anyal, ayahnya Pak Ustman yang dikenal sebagai naib –kelas bangsawan ketika itu-- berkeinginan besar mengantarkan Mas’ud menjadi dokter, tidak seperti dirinya sebagai naib. Atas keinginan keras ini, Mas’ud melanjutkan studi di Stovia (UI, sekarang) dalam jurusan kedokteran. Namun, dalam waktu yang singkat, pak Ustman akhirnya harus rela memanggil pulang Mas’ud dan harus dipondokkan, setelah mendapat anjuran Kiai Ma’ruf Kedunglo, salah satu santri Kiai Kholil Bangkalan. Anjuran Kiai Ma’ruf, yang dikenal memiliki ketajaman mata hati (baca: bashirah), direspon oleh Pak Ustman dengan ikhlas tanpa sedikit penyesalan.
Setelah perjalanan waktu, sulit dikira akhirnya prediksi batin Kiai Ma’ruf cukup tepat, Mas’ud yang akhirnya dikenal dengan K.H. A. Djazuli Ustman adalah pendiri dan pengasuh Al-Falah Mojo Kediri, yang saat ini pondok ini terus mengalami perkembangan pesat dan menjadi jujukan santri-santri dari berbagai daerah, dengan jumlah ribuan alumni yang menyebar ke seantaro Indonesia.
Dua cerita ini, secara substansi memiliki kesalamaan, sekalipun dalam cerita yang berbeda. Di satu sisi, anak naib yang kelak akan diproyeksikan menjadi dokter ternyata harus dipondokkan. Di sisi yang berbeda anak paramedis yang menginginkan kelak anaknya memiliki moralitas luhur dalam kehidupannya, sekalipun tidak harus menjadi dokter. Substansi yang dimaksud adalah, sama-sama memahami bahwa moralitas luhur adalah segala-galanya di atas kemampuan intelektual.
Konteks Kampus
Bertolok dari dua cerita ini, sebagai insan kampus keharusan civitas UIN-SA berfikir serius pada pengawalan moralitas luhur mahasiswa UIN-SA adalah kebutuhan yang sulit ditawar-tawar, di samping serius meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai disiplin keilmuannya sesuai dengan jurusannya masing-masing. Semangat ini sebenarnya telah tersirat dari slogan “Building Character Qualities; for the Smart, Pious, Honorable Nation”, yang terpampang di berbagai media kampus.
Alasan mengapa moralitas luhur itu penting sebab generasi saat ini adalah calon pemimpin di era kedepan. Kondisi kebangsaan kita yang masih mudah goyang, baik dilihat dari sisi ekonomi maupun politik ke depan membutuhkan individu-individu yang tangguh dalam berbagai bidang, setidaknya muncul dari para alumni UIN-SA.
Ketangguhan itu dibarengi dengan moralitas luhur sebagai karakter diri, yakni moralitas yang mampu tidak hanya berpikir untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain sebagai sarana pengabdian kepada sang Khaliq, Allah Swt. pasalnya, moralitas luhur sejatinya adalah manifestasi dari upaya membumikan nilai-nilai ketuhanan (tajalli wa ardiyatu-l-rububiyyah).
Ketika semangat integrasi keilmuan diteriakkan oleh kampus ini --semenjak menjadi UIN-SA-- semakin nyaring, maka menjadikan moralitas luhur masuk dalam materi-materi kemahasiswaan, khususnya mahasiswa yang jurusan umum, menjadi niscaya. Sekalipun belajar teori-teori politik, misalnya dari teori Barat sekalipun, perlu disusupi pikiran bagaimana perlunya membangun politik kemaslahatan dan kebangsaan. Tidak seperti sekarang ini, kita masih menyaksikan politik masih terjebak pada semangat prosedural, dari pada substansi.
Bekal moralitas luhur ini kelak yang akan membentengi mahasiswa, ketika kelak lulus dari UIN-SA baik aktif sebagai akademiki, politisi, dokter, psikolog dan seterusnya. Munculnya, politisi atau dokter yang bermoral luhur, misalnya kelak akan mengangkat citra kampus ini benar-benar menjadi persemaian bagi terciptanya kader bangsa yang memiiliki integritas dan keperibadian.
Inilah secuil pikiran tentang pentingnya moralitas luhur dalam kampus. Sebagai manusia yang beragama kita diajarkan untuk percaya pada sesuatu yang non-materi (baca: ghaib), tidak seperti kepercayaan materialistik-positivistik. Semangat ini harus kita pupuk bersama baik dosen, karyawan hingga mahasiswa, yang riilnya secara akademik bahwa basis keilmuan secara aksiologis tidak melulu berpikir materi, tapi harus juga berpikir non-materi kaitannya karakter tentang kejujuran, keikhlasan dan pengabdian, yang merupakan wujud dari komitmen aman-tu bi-l-lahi wa rasulihi wa yawmi-al-akhiri…. Semoga.
sumber: http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/11/mengapa-perlu-moralitas-luhur-di-kampus-